REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan terus mewaspadai kondisi global. Salah satunya, kebijakan yang akan diterapkan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, Ada dua kebijakan Trump yang dipantau BI. Pertama dari sisi fiskal dan kedua di sisi perdagangan.
"Perkiraan kami dari sisi fiskal policy, kebijakan fiskal yang sangat agresif yang dikampanyekan Trump, tampaknya secara ekonomi kurang visible karena defisit AS 4,4 persen, dan utang pemerintah AS 106 persen dari PDB," ujar Juda. Dengan begitu, ruang manuver bagi fiskal tidak seagresif seperti yang disampaikan Trump.
Sedangkan untuk kebijakan perdagangan, Indonesia harus tetap mewaspadai meski tidak masuk dalam negera yang dianggap memanipulasi nilai tukar seperti Thailand dan Vietnam. Hanya saja, Presiden AS memiliki unilateral trade policy pada negara yang dianggap menerapkan kebijakan tidak menguntungkan AS.
"Kebijakan unilateral bisa saja dilakukan. Nah ini akan kita tunggu pada pidato Trump besok," ujar Juda. Ia menambahkan.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sendiri pada kuartal IV 2016 diperkirkan mencatat surplus. Hal itu ditopang oleh transaksi modal dan finansial yang mencatat surplus cukup besar serta membaiknya kinerja ekspor.
BI mencatat defisit transaksi berjalan juga cukup rendah di bawah 2 persen. Ditopang oleh surplus neraca perdagangan nonmigas cukup besar seiring dengan membaiknya kinerja ekspor.
Dengan perkembangan itu, posisi cadangan devisa Indonesia pada Desember 2016 sebesar 116,4 miliar dolar AS. Lebih tinggi dibandingkan posisi November 2016 sebesar 111,5 miliar dolar AS.
"Posisi itu cukup untuk membiayai 8,8 bulan impor atau 8,4 bulan impor dan pembayaran utang luar pemerintah. Berada pula di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor," jelas Juda.