Selasa 17 Jan 2017 13:55 WIB

Guru Besar IPB: Dua Presiden Lengser karena Inflasi

Rep: Santi Sopia/ Red: Ilham
Muhammad Firdaus.
Foto: IPB
Muhammad Firdaus.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Guru besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB), Muhammad Firdaus, mengingatkan pemerintah pengaruh inflasi terhadap kestabilan bangsa. Menurut dia, petani menghasilkan pangan kurang dari yang mereka konsumsi. Artinya, mereka harus beli di pasar dan mereka juga terdampak bila ada kenaikan harga pangan.

“Dua presiden yang paling berkuasa, Sukarno dan Soeharto lengser karena inflasi. Jokowi belum saja, karena belum inflasi. Itulah pentingnya menjaga harga pangan tetap stabil. Chaos itu tidak bagus, dampaknya pasti menderita dua sampai tiga tahun,” ujarnya dalam jumpa pers menanggapi lonjakan harga pangan yang digelar di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor.

Sebelumnya, Menteri Pertanian RI mengatakan bahwa cabai tidak langka. Namun, Firdaus menyangkalnya karena setiap tahun, menurut dia, bulan produksi rendah itu ada pada awal dan akhir tahun. “Kalau kita tidak punya penyimpanan yang bagus, ya siap-siap harga melonjak,” ujarnya.

Cabai yang mencapai harga 180 ribu per kilogram (kg) adalah cabai rawit merah. Konsumsinya tidak sebesar cabai merah besar atau keriting yang harganya antara Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu per kg. Cabai ini penting karena memberikan rasa pedas, terutama untuk pedagang makanan dengan berbagai level.

Menurut dia, kenaikan harga pangan disebabkan kelangkaan produksi secara keseluruhan atau karena memang kasus distribusi. Dua-duanya bisa terjadi bersamaan. Ada kemungkinan harga dipermainkan pihak tertentu. Mereka tekan serendah mungkin dan jual dengan harga tinggi.

“Lalu untuk memenuhi kebutuhan biasanya menggunakan langkah impor. Pertanyaannya ada tidak cabe rawit yang sama yang akan kita impor, jawabannya terbatas. Yang punya cabai rawit mirip dengan kita adalah Thailand dan Taiwan. Maka kemungkinan impor kecil karena produksinya juga kecil,” katanya.

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2016, Menteri Perdagangan RI menetapkan harga acuan cabai rawit merah sebesar Rp 29 ribu per kg.

“Pertanian akan bagus jika harga stabil karena produksi dilakukan dengan sistem kontrak. Upaya sudah banyak tapi implementasi masih kurang. Bisa tidak petani menanam itu, ada koordinasi dari pemda untuk melakukan registrasi penggunaan lahan secara baik di setiap daerah. Kita tidak membatasi petani mau menanam apa. Tapi harus diregistrasi,” ujarnya.

Selain itu, perbanyak produksi cabai olahan (kering, beku, dan giling). Setiap pedagang cabai di Thailand jual cabai kering dan basah sama banyak. Melakukan gerakan masif untuk penanaman cabai baik rawit atau merah besar dalam pot, pekarangan, dan lain-lain. Dengan ini keamanan produk lebih terjamin organik dan mendidik konsumen untuk menggunakan berbagai produk olahan cabai.

“Tahun 60 sampai 70-an orang tua kita jemur cabai di atas seng, di India juga warganya biasa sekali jemur cabai. Tukang giling bumbu biasanya ngoplos cabai segar dan kering. Nah yang kering ini yang biasanya kita impor dari Cina. Di Sumatera orang sudah biasa bikin cabai giling, termasuk cabai beku,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement