Ahad 15 Jan 2017 16:29 WIB

Keterbukaan Data Perbankan Diharapkan Picu Kepatuhan Pajak

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Aktivitas pelayanan pembayaran pajak di Kantor DJP Wajib Pajak Besar, Sudirman, Jakarta, Jumat (23/9).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Aktivitas pelayanan pembayaran pajak di Kantor DJP Wajib Pajak Besar, Sudirman, Jakarta, Jumat (23/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berulang kali mengimbau masyarakat, terutama wajib pajak, untuk segera melaporkan hartanya yang belum sempat tercatat melalui program amnesti pajak. Alasannya, setelah program ini berakhir pada 31 Maret 2017 mendatang, maka pemerintah memiliki hak dan kemampuan untuk melacak harta-harta yang belum terlapor dan menjatuhi wajib pajak dengan sanksi adminsitrasi hingga 200 persen.

Risiko yang bakal ditanggung wajib pajak tak hanya berhenti sampai di situ. Seperti diketahui, pemerintah Indonesia telah menyepakati perjanjian pertukaran data perpajakan dan data perbankan pada 2018 untuk menekan pemangkiran pajak. Perjanjian ini disepakati oleh negara-negara anggota G-20 dan akan diterapkan oleh 97 negara. Pertukaran data perpajakan ini diharapkan bisa mendukung kinerja petugas pajak dalam meredam kecurangan perpajakan. Ujungnya, penerimaan pajak naik.

Staf Ahli Menteri Keuangan Suryo Utomo menjelaskan, kebijakan yang tertuang dalam Automatic Exchange of Information (AEoI) ini sangat penting bagi Indonesia. Menurutnya, tingginya jumlah harta Warga Negara Indonesia (WNI) yang tersimpan di luar negeri dan belum dilaporkan masih sangat tinggi. Dalam laporan awal yang disampaikan Kementerian Keuangan tahun lalu, paling tidak ada Rp 3.250 triliun harta wajib pajak Indonesia yang mengendap di luar negeri.

Program pengampunan pajak, kata Suryo, memang menjadi salah satu jurus yang dilakukan pemerintah untuk menarik partisipasi perpajakan. Paling tidak wajib pajak akan menimbang-nimbang, antara opsi dikenai pajak lebih tinggi di masa yang akan datang atau membayar denda rendah saat ini. Ia menambahkan, AEoI yang mulai berlaku pada 2018 mendatang akan menggandeng institusi keuangan untuk membuka data perbankan dan perpajakan. Belum lagi, kebijakan ini berlaku secara global.

"Ini hubungannya partisipasi data. Kalau ada data, kami bisa kroscek dengan WP. Data perpajakan dan data perbankan," ujar Suryo, Ahad (15/1).

Ia melanjutkan, program amnesti pajak sebetulnya bersifat rekonsiliasi data perpajakan. Wajib pajak diberikan kesempatan untuk melaporkan harta mereka secara mandiri dan diganjar dengan denda rendah. Namun, pascaamnesti pajak, maka wajib pajak mau tak mau harus tunduk pada aturan perpajakan dan risiko atas dikenakan pajak denda pajak yang tinggi.

"Banyak negara sudah ikut serta. Antarnegara sudah sepakat lakukan pertukaran data secara multilateral. Hal ini mendorong wajib pajak untuk menggunakan kesempatan ini, sebelum semuanya akan serba terbuka," katanya.

Sementara itu, pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan Roni Bako menyebutkan, program amnesti pajak justru memberikan "pelatihan" bagi wajib pajak untuk menghadapi keterbukaan data pada 2018 mendatang. Alasannya, wajib pajak mau tak mau akan dihadapkan pada suatau sistem yang serba transparan di mana jejak harta yang tak dilaporkan bisa terlacak.

"Tapi, sebetulnya tak perlu tunggu 2018. April saja, pasca-amnesti, Ditjen Pajak akan mulai mengejar mereka-mereka yang tak memanfaatkan amnesti," kata Roni.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement