REPUBLIKA.CO.ID, Aneka kerajinan batik kayu produk usaha kecil menengah sentra kerajinan Krebet, Desa Sendangsari, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta diekspor ke berbagai negara di benua Eropa. Berbagai produk yang diekspor di antaranya kotak tempat tisu, wayang kayu, topeng batik, serta hiasan interior rumah lainnya.
Selain diekspor ke berbagai negara belahan dunia, kata Ketua Koperasi UKM batik kayu `Sidokaton` Krebet, Yulianto, aneka kerajinan batik kayu juga dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, dan Maluku.
"Kalau pasar ekspornya ke negara-negara di Eropa misalnya Polandia. Kemudian juga ke negara Amerika seperti Kanada," kata dia, belum lama ini.
Menurutnya, pasar kerajinan batik kayu Krebet memang lebih banyak ke dalam negeri, karena jaringan yang dimiliki lebih banyak di dalam negeri. Sementara luar negeri hanya lewat perusahaan eksportir.
Yulianto mengatakan, di sentra Krebet ada sebanyak 57 UKM (usaha kecil menengah) atau rumah produksi batik kayu dengan jumlah perajin keseluruhan mencapai sekitar 450 orang yang merupakan warga sekitar. "Dengan perajin yang ada sekarang ini kapasitas produksi batik kayu di Krebet per bulan sekitar 50 ribu buah berbagai jenis kerajinan yang dijual dengan Rp 5.000 sampai puluhan ribu per buah," katanya.
Terkait dengan promosi kerajinan, ujar dia, masih terkendala, sebab mayoritas pengusaha batik kayu masih mengandalkan promosi langsung dan bukan melalui sistem online yang berkembangan seperti sekarang ini. "Batik kayu selama ini masih dijual secara langsung dan belum melalui media online. Namun para perajin di Krebet sudah mengadakan pelatihan terkait jual beli online, setidaknya itu bisa nambah pengalaman," katanya.
Terpisah, produksi kerajinan batik nitik Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, menghadapi kendala ketersediaan sumber daya manusia pengrajin yang menggeluti usaha tersebut."Kendalanya itu SDM (sumber daya manusia), karena saat ini pembatiknya hampir semuanya sudah lanjut usia dan juga punya kesibukan masing-masing di rumah," kata Ketua Paguyuban Batik Nitik Desa Trimulyo, Iswanto.
Menurut dia, karena kendala ini, produksi batik tidak maksimal dan hanya disesuaikan dengan kemampuan dan waktu yang dimiliki pembatik. Ia menilai perlu ada regenerasi pembatik. “Misalnya yang muda-mudi juga diajak untuk menggeluti batik, namun mayoritas mereka tidak minat, karena kendala upah yang diterima," jelasnya.
Dikatakan, upah baru diberikan ke perajin ketika produksi kerajinan batik sudah setengah jadi. Sementara untuk membatik pada selembar kain dengan proses ‘nitik’ sesuai motif membutuhkan waktu paling cepat tiga pekan. Upah diberlakukan sistem borongan per lembar kain.
“Kain biasanya berukuran 2,5 meter persegi. Upah yang diberikan Rp 300 ribu sampai Rp 350 ribu tergantung motif, dan itu dikerjakan sekitar tiga minggu sampai satu bulan," kata Iswanto. ed : Yusuf Assidiq