REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kenaikan harga cabai diduga terjadi karena jumlah produksi yang menurun di lapangan. Kepala Bagian Perekonomian Setda Sleman, CC Ambarwati menuturkan, di kabupaten setempat produksi cabai pada Desember 2016 menurun drastis.
"Kalau berdasarkan data dari Dinas Pertanian, bulan Desember itu produksi cabai turun minus 657 ton. Maka itu sekarang persediaannya sedikit," katanya saat ditemui di Sleman, Kamis (5/1). Adapun penurunan produksi cabai disebabkan oleh faktor cuaca.
Saat musim hujan, tanaman cabai jadi mudah kena hama. Sehingga hasil panennya menurun. Sedangkan di sisi lain, konsumsi cabai di Sleman cukup tinggi, karena jumlah rumah makan yang cukup banyak.
Oleh karena itu, ia menilai wajar bila keberadaan cabai di lapangan menjadi langka, sehingga harganya naik cukup tajam. Ambar menyampaikan, kenaikan nilai jual cabai tidak hanya sekarang. Sebelumnya harga komoditas tersebut memang pernah mencapai angka di atas Rp 100 ribu.
Fenomena ini seringkali mempengaruhi angka inflasi di daerah setempat. Selain cabai, Ambar menuturkan, ada beberapa komoditas lain yang dapat mempengaruhi angka inflasi, di antaranya bawang merah, telur, dan daging.
Sementara itu pengendalian harga terhadap komoditas tersebut dinilai sulit dilakukan. "Seperti cabai kan beredar di pasar terbuka. Jadi memang sulit untuk dikendalikan," tutur Ambar. Maka itu, pergerakan harganya diserahkan langsung pada aktivitas permintaan dan penawaran pasar.
Guna mengantisipasi kenaikan harga akibat penurunan produksi pertanian, ke depannya masyarakat disarankan memanfaatkan pekarangan rumah untuk bercocok tanam. Hal itu terutama menanam sayuran seperti cabai dan tomat. "Sekarang kan sudah banyak metode penanaman sayur di pekarangan. Ada yang vertikal, pakai pipa atau pot juga bisa," tutur Ambar. Namun begitu, menurutnya, realisasi gerakan bercocoktanam di pekarangan merupakan strategi jangka panjang.