Senin 19 Dec 2016 14:39 WIB

BI Nilai Situasi Ekonomi 2017 Kondusif untuk Redenominasi Rupiah

Red: Nur Aini
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menunjukan uang rupiah baru saat peluncuran uang baru di Blok M Square, Jakarta, Senin (19/12).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menunjukan uang rupiah baru saat peluncuran uang baru di Blok M Square, Jakarta, Senin (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia menyatakan situasi ekonomi dan politik cukup kondusif pada tahun depan, sehingga memungkinkan untuk dimulainya pembahasan legalitas penyederhanaan nilai nominal uang rupiah atau redenominasi.

"Saat pembahasan redenominasi itu yang penting kondisi ekonomi stabil," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara usai peluncuran 11 uang rupiah baru NKRI di Jakarta, Senin (19/12).

Rancangan Undang-Undang Redenominasi atau RUU Perubahan Harga Rupiah sudah diajukan BI dan pemerintah pada 2013. Namun sejak tiga tahun lalu, pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu tertunda, karena kondisi ekonomi domestik yang masih tertekan dengan perlambatan ekonomi global dan dinamika politik di DPR menjelang Pemilihan Umum pada 2014.

Meskipun terdapat tekanan ekonomi global pada tahun depan yang bisa meningkatkan volatilitas kurs rupiah terhadap mata uang asing, Mirza mengatakan sebaiknya pembahasan redenominasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat dilakukan secepatnya. "Kalau kurs, kurs mata uang lainnya juga melemah seperti Yuan (Cina) melemah enam persen. Yen (Jepang) melemah tujuh persen, itu sesuatu yang biasa. Kami lihat dan harapkan tahun depan bisa dimulai pembahasan, dan 2018 Undang-Undangnya bisa disahkan," ujarnya. BI masih berharap RUU Perubahan Harga Rupiah dapat disetujui DPR untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas pada 2017.

Gubernur BI Agus Martowardojo, saat peluncuran uang rupiah baru meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mendukung pembahasan RUU redenominasi. Agus menerangkan penyederhanaan nilai nominal rupiah tersebut dengan menghilangkan tiga digit pada nominal rupiah, disertai penyesuaian pada harga barang dan jasa. Dengan begitu, redenominasi tidak akan mengurangi daya beli masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan sanering yang menurunkan nilai nominal rupiah, tetapi tanpa melakukan penyesuaian pada harga barang dan jasa. Sanering pernah diterapkan dua kali di Indonesia pada dekade 1950-an di era Menteri Keuangan Syarifuddin Prawiranegara. Aksi sanering saat itu dikenal dengan sebutan "Gunting Syarifuddin".

"Saya minta dukungan Presiden agar redenominasi dapat dibahas," ujar Agus.

Skema yang disiapkan BI adalah setelah redenominasi dibahas pada 2017, maka pada 2018 UU Redenominasi dapat disahkan. Pada 2018, BI akan memberikan minimal masa transisi tujuh tahun, sebelum nilai nominal rupiah baru benar-benar diterapkan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement