REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Aviliani menilai kenaikan suku bunga bank sentral AS The Fed, Fed Fund Rate (FFR), tidak harus direspon oleh Bank Indonesia dengan menurunkan suku bunga kebijakan BI 7 Day Reverse Repo Rate.
"The Fed kan tergantung BI responnya bagaimana. Kalau BI kan responnya tidak menaikkan suku bunga karena kredit masih rendah, dan permintaan kredit tidak banyak," ujar Aviliani di Jakarta, Jumat (16/12).
Di sisi lain, inflasi juga rendah yang menandakan harga-harga barang relatif stabil. Hal-hal tersebut menunjukkan daya beli masyarakat masih rendah.
Dengan demikian ia menilai, jika The Fed pada tahun depan menaikkan suku bunga hingga tiga kali, maka BI tidak perlu merespons apabila tidak ada ketiga faktor tersebut. "The Fed naik kita tidak harus menaikkan suku bunga, tergantung respons. Kecuali uang keluar (capital outflow) tapi tidak masuk lagi. Tapi saya yakin meskipun ada outflow akan segera inflow lagi," katanya.
Sementara itu dari sisi perbankan, Direktur BNI Bob T Ananta menilai, kenaikan FFR tentunya akan berpengaruh pada suku bunga perbankan di Indonesia juga. Kendati begitu, hal tersebut akan benar-benar terasa saat likuiditas secara nasional terpengaruh. "Pada saat likuiditas secara nasional itu terpengaruh jadi ya bunga bank bisa jadi terpengaruh," kata Bob.
Meskipun saat ini likuiditas perbankan sangat tinggi sebesar 91,3 persen dan mendekati batas LDR yang ditetapkan BI yang sebesar 92 persen, namun secara riil nya ia menilai likuiditas tidak dalam keadaan ketat. Hal ini dikarenakan ada banyak alternatif untuk menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tidak masuk dalam perhitungan rasio LDR.
"Karena ada beberapa alternatif. Alternatif investasi makin beragam, pemerintah cukup agresif terbitkan SUN. Itu kondisi yang terjadi saat ini," jelasnya.
Di sisi lain, perbankan juga berharap dari dana tax amnesty yang masuk akan mendorong likuiditas semakin membaik.