Kamis 15 Dec 2016 07:36 WIB

Perda CSR Dinilai Bisa Menghambat Investasi

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
CSR (ilustrasi).
Foto: indiacsr.in
CSR (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembuatan peraturan daerah tentang tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP) atau Perda CSR dinilai bukan untuk memfasilitasi dan menguatkan praktik CSR. Melainkan untuk menjadikan CSR sebagai dana alternatif pembangunan daerah. Melalui Perda CSR, pemerintah daerah mengarahkan program CSR perusahaan untuk mendanai program-program daerah, khususnya pembangunan infrastruktur.

"Selain tidak berdampak positif bagi praktik CSR, perda ini juga berpotensi menciptakan ekonomi biaya tinggi dan menghambat iklim investasi di daerah," ujar peneliti Public Interest Reserch Advocacy Center (Pirac) Hamid Abidin, Rabu (14/12).

Hasil riset Pirac menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, puluhan Perda CSR disahkan di berbagai daerah di Indonesia. Pirac mencatat 90 perda CSR sudah disahkan yang tersebar di 15 provinsi, 59 kabupaten dan 16 kotamadya.

Jumlah perda CSR ini dipastikan akan terus bertambah karena 35 daerah lainnya saat ini sedang menyelesakan pembahasan raperda CSR. Tim peneliti Pirac, Hamid mengatakan, menemukan penyimpangan atau ketidaksesuaian isi perda dengan undang-undang peraturan pemerintah mengenai CSR yang dijadikan acuan.

"UU PT maupun PP mengenai TJSP menyatakan bahwa pembiayaan TJSP dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan, sementara sebagian besar perda CSR menentukan pembiayaan TJSP berasal dari keuntungan bersih setelah pajak atau dialokasikan dari mata anggaran lain perusahaan," jelasnya dalam siaran pers, Kamis (15/12).

Penentuan jumlah atau persentese dana CSR dalam perda dianggap menyimpang karena tidak diatur dalam UU atau PP tentang TJSP.  Dia mengatakan, UU maupun PP menegaskan bahwa pelaksana TJSP adalah perusahaan. Sementara di sebagian besar Perda CSR pemerintah daerah justru mengatur pendirian forum atau tim, pokja, atau pelaksana TJSP yang salah satu tugasnya menjalankan program CSR.  

Hamid mengatakan pengaturan program dan kegiatan CSR sampai area lokasinya di Perda TJSP juga dinilai menyimpang karena UU dan PP memberi keleluasaan pada perusahaan untuk mengembangkan program-program CSR-nya. Ketentuan yang mengatur sanksi dalam UU maupun PP tidak diatur secara spesifik dan hanya disebutkan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun, dia menagtakan, sebagian besar Perda CSR justru mengatur secara rinci sanksi yang dijalankan. Mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau penanaman modal, sampai pencabutan kegiatan usaha.  

Menurut dia, pengaturan mengenai sanksi ini akan berpengaruh terhadap iklim investasi dan pengembangan usaha di daerah karena pelaksanaan CSR dikaitkan dengan pencabutan izin usaha. "Hal inilah yang kemudian membuat Perda-perda CSR masuk dalam kategori regulasi yang dianggap menghambat upaya pemerintah untuk menyederhanakan birokrasi dan meningkatkan iklim investasi di daerah," kata Hamid.

Selain itu, kehadiran perda-perda tersebut juga dinilai berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi untuk melakukan bisnis di daerah. Buktinya, kata dia, dibatalkannya atau dicabutnya 13 perda daerah bersama 3.143 perda lain oleh Kementerian dalam Negeri. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa para pihak yang terlibat dalam penyusunan Perda CSR, termasuk pelaku usaha, memiliki pemahaman yang bias dan keliru dalam memahami konsep CSR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement