Rabu 14 Dec 2016 17:20 WIB

UU Pengampunan Pajak Jalan Terus

Rep: Fauziah Mursyid/ Red: Dwi Murdaningsih
Papan iklan sosialisasi pengampunan pajak terpasang di Jl Sudirman, Jakarta.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Papan iklan sosialisasi pengampunan pajak terpasang di Jl Sudirman, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dipastikan bisa terus berlanjut. Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Diketahui dalam putusan MK hari ini, Mahkamah menolak uji materi permohonan pasal yang ada dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Sebagaimana dimohonkan oleh Yayasan Satu Keadilan, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, serta Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia.

"Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (14/12).

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai dibentuknya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak oleh Pemerintah dan DPR didasari kondisi dilematis akibat turunnya pendapatan negara khususnya sektor pajak. Padahal sektor pajak, menyumbang besar dalam pembiayaan program pembangunan di Indonesia.

Hal ini menurut mahkamah, berpotensi membuat mandek program pembangunan, mengentaskan kemiskinan, menurunkan pengangguran sehingga pembentuk UU mengambil langkah khusus di luar penegakan hukun yang normal yakni melalui pengampunan pajak tersebut.

Atas dasar itu, Hakim Konstitusi juga berpendapat pengampunan pajak dilihat dari filosofis dari keadilan substantif, ke depan bisa lebih adil terkait struktur perpajakan. Mahkamah juga berpendapat, pengampunan pajak bukan berarti melindungi kejahatan oleh para wajib pajak. Adapun insentif yang dikenakan kepada wajib pajak menurut Mahkamah sebagai insensif selama berlangsungnya satu periode pengampunan pajak itu.

"Maka mahkamah berpendapat, bahwa terdapat alasan urgen dan mendasar pembentuk UU untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak untuk memberlakukan UU tersebut," kata Hakim Suhartoyo.

Selain itu, dasar pertimbangan Mahkamah lainnya yakni dalil-dalil yang digunakan para pemohon untuk menggugat pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tidak beralasan menurut hukum. Diantaranya, alasan permohonan pemohon yang menengarai berlakunya UU pengampunan pajak bukan untuk mencapai tujuan yang sesuai tujuan dibentuknya UU tersebut.

Begitu pun, anggapan pemohon bahwa ketentuan di UU tersebut melemahkan lembaga penegak hukum, pengampunan pajak tidak berdampak pada kepatuhan pajak dan pemohon juga mendalilkan negara membiarkan pelaku kejahatan pajak.

"Mahkamah berpendapat dalil pemohon tidaklah tepat, maka dalil pemohon yang scara implisit UU ini bertentangan, tidak beralasan secara hukum,

Adapun putusan MK tersebut berkaitan uji materi perkara nomor 57/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia atas pasal 1 angka 1 dan angka 7, pasal 3 ayat 1, pasal 4-6 dan pasal 19 ayat 1 dan ayat 2, pasal 21 ayat 2 dan pasal 22 san 22 UU Pengampunan Pajak.

Sementara, tiga permohonan uji materi terkait UU yang sama yakni perkara dengan nomor 63/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016, dan 58/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan tiga penggugat lainnya juga dinyatakan tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement