Senin 12 Dec 2016 10:21 WIB

Redenominasi Uang Rupiah, Mungkinkah?

Pekerja sedang menghitung mata uang dolar di money changer, Jakarta, Selasa (13/9).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pekerja sedang menghitung mata uang dolar di money changer, Jakarta, Selasa (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, wartawan Republika

JAKARTA -- Beberapa waktu lalu nilai tukar rupiah sempat anjlok ke kisaran Rp 13.800 per dolar AS, setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS. Kondisi ini pun dimanfaatkan masyarakat yang memiliki simpanan dalam bentuk dolar AS untuk menjualnya ke rupiah sehingga mendapatkan keuntungan besar.

Seperti yang dilakukan oleh Mulya (50 tahun). Dia membeli 1000 dolar AS pada awal 2015 ketika kurs rupiah masih di kisaran Rp 12.500 per dolar AS. "Nanti kalau kurs nya naik ya dijual, kan untung. Jadinya dapat uang lebih banyak," ujar Mulya.

Sama seperti saat ingin menukar uang rupiah ke mata uang asing yang nilainya lebih tinggi. Masyarakat harus membawa uang dalam jumlah banyak hanya untuk menukarkan dalam jumlah lebih sedikit ke mata uang lain.

"Kalau rupiah nggak sampai 100 ribu kan nggak perlu bawa uang banyak buat ditukar ke money changer," lanjut Mulya.

Begitu juga saat berbelanja atau kegiatan ekonomi lainnya. Akan lebih mudah bagi masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi apabila nominal uang yang dapat dihitung tidak besar.

Redenominasi atau penghilangan tiga digit angka pada nilai nominal mata uang rupiah saat ini dinilai diperlukan. Dengan redenominasi mata uang rupiah, diharapkan terjadi efisiensi kegiatan ekonomi.

Menurut Ekonom dari Kenta Institute, Eric Sugandi, rencana Bank Indonesia (BI) untuk redenominasi mata uang rupiah akan berpengaruh ke sistem perekonomian, namun tidak akan mengganggu perekonomian secara signifikan.

Redenominasi, kata Eric, dalam jangka panjang akan berdampak positif. Pertama, secara psikologis membuat orang yang memegang rupiah merasa seolah-olah mata uangnya menjadi lebih kuat.

"Biasanya kalau mau beli 1000 dolar AS mesti bawa duit rupiah segepok. Dengan redenominasi, hanya perlu beberapa lembar saja," ujarnya pada Republika.co.id, Jumat (9/12).

Dampak kedua, akan memudahkan sistem perhitungan karena jumlah digitnya berkurang. Namun menurutnya ini juga persepsi dari psikologis masyarakat. Hal-hal tersebut akan dirasakan masyarakat saat mulai terbiasa menggunakan rupiah yang telah diredenominasi.

Di sisi lain, dampak negatif dari redenominasi akan terasa dalam jangka pendek atau saat redenominasi mulai dilakukan. Pertama, ada tambahan tekanan inflasi karena pembulatan harga. Kedua, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk penggantian sistem, misalnya di perusahaan dan perbankan.

Menurut Eric, saat ini redenominasi tidak terlalu mendesak. Akan tetapi saat ini pemerintah dan BI telah dapat mengendalikan inflasi dalam posisi lumayan rendah dibanding beberapa tahun lalu. Hal tersebut menjadi faktor utama yang paling menentukan.

Dengan demikian sosialisasi dari BI dan pemerintah menjadi sangat penting. Jangan sampai timbul kebingungan masyarakat yang malah bisa mengganggu aktivitas ekonomi, seperti disangka sanering yang menyebabkan masyarakat jadi berbondong-bondong membeli barang karena salah sangka bahwa nilai uang turun.

Hal ini bisa timbulkan tekanan inflasi dari sisi demand dan mengganggu pengendalian inflasi.

Eric menjelaskan, pengenalan awal bisa dilakukan dengan memasang dua tag harga nominal pada barang-barang, satu nominal baru dan satu nominal lama.

"Kunci agar redenominasi berjalan dengan baik ada di inflasi yang terjaga dan sosialisasi yang baik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement