REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Rencana proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Indramayu 2 di Kecamatan Patrol dan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sudah memasuki tahap pembebasan lahan. Warga yang menjadi pemilik lahan yang akan digunakan untuk proyek itu berharap memperoleh ganti rugi dengan harga yang layak.
Berdasarkan informasi dari sejumlah petani di Kecamatan Patrol yang lahannya terkena proyek PLTU Indramayu 2, mereka menginginkan besaran harga yang bervariasi. Mereka pun mematok harga lahan minimal Rp 300 ribu per meter. "Ya pokoknya petani jangan sampai rugi," ujar seorang petani di Desa Patrol Baru, Kecamatan Patrol, Winjun, Kamis (8/12).
Winjun mengatakan, sawah miliknya merupakan sawah produktif. Dia biasa menanam tanaman padi dua kali dan tanaman bawang merah sekali dalam setiap tahunnya. Hasil padi dan bawang merah itulah yang menjadi sumber penghasilannya selama ini.
Winjun menilai, besaran harga minimal Rp 300 ribu per meter itu sudah proporsional. Hal itu dibandingkan dengan harga sawah-sawah lain di sekitarnya yang juga tak jauh dari besaran harga tersebut.
Dari hasil pembebasan lahan itu, Winjun berharap bisa membeli sawah di daerah lain untuk menjadi sumber penghasilannya. Karenanya, dia meminta agar besaran ganti rugi dalam pembebasan lahan proyek PLTU tersebut tak kurang dari Rp 300 ribu per meter.
Hal senada diungkapkan seorang petani lainnya di Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Durnia. Selain meminta harga ganti rugi yang layak, dia juga berharap agar pembayaran ganti rugi lahan segera dilakukan. "Setelah uang penggantian lahan itu dibayarkan, saya ingin segera mencari sawah lain untuk gantinya," terang Durnia.
Terpisah, Camat Patrol, Teguh Budiarso, saat dikonfirmasi, menyatakan, proses pembebasan lahan untuk proyek pembangunan PLTU Indramayu 2 masih terus berlangsung. Sekitar akhir November 2016 lalu, penyerahan dokumen mengenai luas lahan milik warga telah dilakukan dari panitia yang diketuai kepala BPN kepada tim appraisal.
Teguh menambahkan, tim appraisal kemudian menyerahkan dokumen tersebut ke ketua panitia lagi. Setelah itu, tim appraisal akan mengadakan sosialisasi kepada para pemilik lahan terkait dengan harga maupun lainnya. "Jadi nanti akan dilakukan sosialisasi mengenai luas lahan warga yang akan dibebaskan sekian hektare dan nilai harga penggantinya sekian rupiah," terang Teguh.
Teguh menyatakan, harga pembebasan lahan untuk proyek pembangunan PLTU itu akan ditentukan oleh tim appraisal. Jika nanti ada warga yang komplain dengan harga tersebut, maka akan diberikan tenggang waktu selama 14 hari.
Saat ditanyakan mengenai besaran harga penggantian lahan untuk PLTU tersebut, Teguh mengakui warganya meminta cukup tinggi. Namun, tetap proporsional. Di wilayah yang dipimpinnya, luas lahan milik warga yang terkena proyek PLTU tersebut mencapai kurang lebih 230 hektare. "Sekarang kan jarang kita dengar tuntutan ganti rugi, yang ada ganti untung," kata Teguh.
Teguh menjelaskan, meski harga penggantian lahan ditentukan tim appraisal, namun biasanya harganya diatas NJOP dan harga umum. Dia berharap agar keputusan mengenai harga tersebut proporsional dengan harga di lapangan.