REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, persepsi untuk mempertimbangkan mata uang Cina, yuan, dalam perekonomian Indonesia memang cukup relevan. Menurut dia, dolar AS saat ini tidak menjadi satu-satunya mata uang yang bisa memengaruhi perekonomian dalam negeri.
"Iya memang ini mungkin bisa. Kita lihat posisi Indonesia sendiri sekarang dengan Cina semakin besar dalam sistem perdagangan," kata Shinta melalui sambungan telepon, Selasa (6/12).
Menurutnya, perdagangan dengan Negeri Tirai Bambu harus dijadikan acuan karena perekonomian Indonesia juga tergantung kondisi pertumbuhan ekonomi Cina. Ketika perekonomian di negara tersebut anjlok, maka akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia.
Shinta juga menuturkan bahwa perekonomian Amerika yang akan lebih tertutup dengan negara lain memang akan memberikan dampak pada negara lain termasuk Indonesia. Dengan keadaan itu, maka kurs dolar AS sudah tidak bisa seutuhnya dijadikan acuan perekonomian Indonesia. "Apalagi kita memang harus mengantisipasi kebijakan Trumph (Presiden AS) yang semakin tertutup.
Meski demikian, dolar AS akan tetap mendominasi dalam hal perdagangan. Sebab, mata uang ini telah menjadi mata uang internasional yang digunakan dalam sistem jual beli internasional. Artinya jika Indonesia harus menggantikan dolar AS dengan yuan dalam perdagangan masih belum bisa.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut bahwa kurs rupiah terhadap dolar AS bukan lagi tolak ukur yang tepat untuk melihat kondisi perekonomian Indonesia. Menurutnya, tolak ukur yang relevan digunakan saat ini adalah kurs mata uang negara yang menjadi mitra dagang besar bagi Indonesia, dan salah satunya adalah yuan, mata uang milik Cina.