REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah kembali mengingatkan adanya risiko yang harus ditanggung oleh wajib pajak bila tidak melaporkan harta dan asetnya yang belum tercatat melalui amnesti pajak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menjelaskan, pada dasarnya program amnesti pajak adalah hak bagi wajib pajak untuk mengikuti atau tidak.
Namun, lanjutnya, mengacu kembali pada pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak memberikan kewenangan kepada Ditjen Pajak untuk melakukan tindakan tegas bagi wajib pajak yang diketahui ternyata memiliki harta dan aset yang belum dilaporkan hingga periode amnesti pajak rampung.
Artinya, pascaprogram amnesti pajak yang berakhir Maret 2017 mendatang, petugas pajak memiliki kewenangan untuk menyisir kembali data yang dimiliki, termasuk dari data intelejen, untuk mengecek apakah harta dan aset wajib pajak sudah seluruhnya disampaikan.
Hestu menyebutkan, bila sampai batas program ini berakhir wajib pajak yang bersangkutan ternyata belum melaporkan hartanya maka ada risiko besar berupa pembayaran pajak dengan tarif yang jauh lebih tinggi. Alasannya, temuan harta dan aset nantinya akan dianggap sebagai penambahan penghasilan bagi wajib pajak dan dikenakan tarif normal.
Hestu mengajak wajib pajak untuk lebih baik memilih opsi mengikuti amnesti pajak dibanding menanggung risiko atas pembayaran pajak yang jauh lebih tinggi. "Ini kemudahan yang jangan sampai dilewatkan. Andai kami menemukan harta wajib pajak yang tidak dilaporkan SPT 2016 dan tidak ikut pengampunan, maka harta itu akan ditetapkan sebagai penghasilan dan dikenakan tarif normal 30 persen," katanya, Rabu (30/11).