REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia sangat besar. Dari hitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedikitnya terdapat potens EBT mencapai 810 gigawatt (GW).
Sayang, sumber besar yang dimiliki ini hanya mampu dipakai sebesar 8,78 GW atau sekitar satu persen saja. Mahalnya pembangunan pembangkit listrik EBT dan jaringan listrik tersebut membuat EBT masih kalah saing dibanding energi fosil.
"Permasalahannya kita selama ini terlalu lama menikmati subsidi energi fosil," kata Direktur Energi Baru dan Terbarukan Kemen-ESDM Maritje Hutapea dalam Rakornas Kadin bidang Energi, Rabu (30/11).
Menurutnya, penggunaan energi fosil sejak puluhan tahun lalu membuat semua sektor lebih banyak memakai energi ini. Perbandingan penggunaan energi fosil dan non-fosil bahkan mencapai 94 berbanding 6 persen.
Meski demikian, tingginya emisi karbon dari energi fosil mulai menjadi perhatian khusus semua negara termasuk Indonesia. Keinginan Pemerintah Indonesia dalam ikut serta menekan emisi karbon dan mencegah kenaikan suhu di bahwa dua derajat, membuat pembangunan pembangkit listrik EBT semakin gencar dilakukan.
Maritje menjelaskan, mahalanya pembangunan pembangkit listrik EBT memang menjadi persoalan yang masih harus dikaji secara bersama dengan pelaku usaha. Banyak pelaku usaha enggan membangun EBT karena mereka menilai bahwa pendapatan dari bisnis tersebut akan sulit didapat dan berpotensi mengakibatkan kerugian.
"Kita masih akan menyelesaikan feed in tariff untuk patokan harga jual listrik EBT, harga yang ditetapkan pemerintah dan wajib dibeli oleh pengguna," ujarnya.