Rabu 23 Nov 2016 07:33 WIB

Ekonom: GWM Averaging Bisa Tingkatkan Kredit Perbankan

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nidia Zuraya
Kredit (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Kredit (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Bank Indonesia (BI) yang akan memberlakukan pembayaran Giro Wajib Minimum (GWM) secara rata-rata atau secara teknikal disebut GWM averaging dinilai akan menolong perbankan dalam mengatasi ketersediaan likuiditasnya. Adanya kebijakan ini akan memberikan ruang lebih besar bagi perbankan untuk menyalurkan kredit.

Ekonom Bahana Securities Fakhtul Fulvian menjelaskan, sebelumnya BI memiliki ruang untuk memangkas suku bunga hingga 2017. Namun, ketidakpastian global setelah Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) yang dimenangkan oleh Donald Trump membuat bank sentral tak bisa melawan kepanikan yang terjadi di pasar global, meski fundamental ekonomi Indonesia terbilang stabil.

"Tapi BI tak mau mati langkah, makanya kebijakan Giro Wajib Minimum primer (GWM) perbankan dihitung ulang. BI berencana memberlakukan pembayaran GWM secara rata-rata atau secara teknikal disebut averaging GWM untuk memberi fleksibilitas kepada bank dalam mengatur likuiditasnya," ujar Fakhtul Fulvian, saat ditemui pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Jakarta, Selasa (22/11) malam.

Fakhtul mengatakan, rencana BI ini akan menolong Perbankan dalam mengatasi ketersediaan likuiditasnya dibandingkan dengan yang saat ini berlaku bank harus membayarkan GWM setiap akhir hari. Dengan membayarkan likuiditas secara rata-rata untuk suatu periode tertentu, perbankan memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit.

"Dengan pemberlakuan GWM rata-rata ini, akan membantu untuk meminimalisir fluktuasi suku bunga  pasar uang jangka pendek dan memberikan fleksibilitas bagi bank dalam menjaga likuiditasnya," jelas Fakhtul.

Dengan demikian, kata Fakhtul, pada akhirnya diharapkan perbankan bisa lebih aktif menyalurkan kredit sebab ketersediaan likuiditas mereka lebih fleksibel. Dengan lebih aktifnya perbankan dalam menyalurkan kredit, akan menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurut BI masih bisa bertumbuh antara 5,0 - 5,4 persen pada tahun depan.

Menurut Fakhtul, estimasi ini sesuai dengan perkiraan Bahana yang sebelumnya sudah memperkirakan ekonomi akan tumbuh sebesar 5,4 persen pada 2017, seiring dengan perbaikan harga komoditas yang akan memberi dampak positif terhadap kinerja ekspor.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement