REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) menjadi salah satu sektor yang mampu menunjang perekonomian nasional. Bahkan sektor ini pun bisa memberikan lapangan kerja yang kemudian menurunkan angka kemiskinan.
Namun, kelemahan besar dari bisnis UMKM membuat sektor ini sulit berkembang. Kesulitan tersebut diantaranya akses ke sumber pembiayaan yang sangat terbatas, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), kesulitan bahan baku, hingga keterbatasan inovasi dan teknologi.
"Sejak berpuluh-puluh tahun persoalan ini tidak pernah tuntas, sehingga tidak ada solusi terbaik meskipun banyak Kementerian/Lembaga yang memberi perhatian untuk UMKM," kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Indonesia (Kadin) dalam Rakernas, Senin (21/11).
Rosan menuturkan, selama ini pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya, tapi sebagian dari upaya ini hanya dijadikan komoditas politik. Hal tersebut membuat pengembangan UMKM tidak optimal dilakukan. Untuk itu ke depan, dengan visi pemerintah yang ingin melakukan revolusi mental, maka alangkah baiknya seluruh pemangku kepentingan terlibat secara proaktif demi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Rosan, peran UMKM sebagai pelaku ekonomi yang jumlahnya kurang lebih sekitar 57,9 juta atau 99,9 persen dari total jumlah pelaku usaha nasional, dalam lima tahun terakhir memberikan kontribusi terhadap kesempatan kerja mencapai 97 persen atau 107,7 juta orang. Kontribusinya terdahap pembentukan produk domestik bruto (PDB).
Satu hal yang harus digenjot kembali adalah kontrobusi produk UMKM dalam pangsa ekspor. Saat ini kontribusi ekspor masih berada di angka 15,8 persen. Jauh tertinggal dibanding negara-negara sekawan di Asia Tenggara lainnya. Misal, Thailand mencapai kontribusi ekspor sebesar 29,5 persen, dan Filipina capai 20 persen.
"Ini menunjukan bahwa sebagian besar pelaku UMKM kita tidak memiliki informasi dan akses ke pasar global. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang harus kita tangani secara bersama," ujar Rosan.