REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerbitan obligasi negara diminta untuk memperhatikan kondisi pasar, terlebih di tengah ketidakpastian ekonomi global pascaterpilihnya Trump. Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebutkan, implikasi dari ketidakstabilan ekonomi global saat ini bisa berujung pada naiknya imbal hasil atas obligasi yang diterbitkan pemerintah.
Pasar, lanjut Chatib, akan melihat dinamika yang terjadi di lapangan saat ini. "Market itu hidupnya day by day. Yesterday slumps, tapi kan orang kalau terlalu murah, nanti masuk lagi. Hari ini, saham berapa, naik 1 koma persen. Jadi harus dilihat ini secara long term period," ujar Chatib, Rabu (16/11).
Pemerintah, lanjutnya, harus bisa mencari momentum yang tepat dan memastikan pasar mulai stabil. Artinya, meski surat utang memiliki imbal balik yang minim, namun pasar tetap merespons positif.
Sedangkan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menyebutkan, rencana penerbitan surat utang di akhir tahun dalam rangka pembiayaan di awal tahun depan atau pre-funding tetap akan memperhatikan kondisi global dan domestik. Terlebih, pemerintah juga akan melihat kerentanan yang ada setelah pasar mengeluarkan asumsi masing-masing atas kebijakan Trump setelah dilantik Januari tahun depan.
"Kami tentu akan mengecek ulang, termasuk kita akan hitung ulang, apakah butuh segitu. Jadi, kita fleksibel saja, kalau marketnya kondusif, ya yang mana saja akan kita launch, prefunding. Tapi kalau market-nya sedang tidak bagus, kita juga tidak ngotot-ngotot amat," ujar Robert.
Meski begitu, Robert menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sedang dalam kondisi yang baik. Pemerintah masih mengacu pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di atas 5 persen, inflasi yang rendah, dan mulai membaiknya nilai tukar rupiah.
"Jadi, mudah-mudahan ini sentimen jangka pendek saja. Karena secara fundamental, politik atau ekonomi sama saja," katanya.