Senin 31 Oct 2016 18:25 WIB

Pemerintah Pertahankan Defisit Anggaran 2,7 Persen

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Defisit (ilustrasi)
Foto: FINANCIALRED.COM
Defisit (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menegaskan tetap mempertahankan angka defisit anggaran di level pemerintah pusat sebesar 2,7 persen. Langkah ini dilakukan meski di sisi lain ruang defisit anggaran untuk pemerintah daerah dipersempit menjadi 0,1 persen dari sebelumnya 0,3 persen.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menyebutkan, berdasarkan pertimbangan ini maka pemerintah masih akan menarik utang sebesar Rp 20 triliun hingga akhir tahun. Angka ini, kata Robert, menjadikan total penerbitan surat utang sepanjang tahun ini sebesar Rp 654 triliun.

"Dengan 2,7 persen itu, datanya ada di kami namun sekitar Rp 20 triliun lagi perhitungannya," ujarnya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (31/10).

Ia mengatakan, program amnesti pajak bisa saja menambah minat pembelian surat berharga negara dari masuknya dana repatriasi. Artinya, peserta amnesti pajak yang membawa pulang hartanya ke Indonesia bisa saja menginvestasikan hartanya untuk pembelian SBN atau obligasi dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Repatriasi yang dari secondary market bisa juga dipakai sama dia, dilelang bisa. Kan nggak harus primary," katanya.

Sementara itu, Koordinator Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi menilai, perhitungan utang luar negeri yang dilakukan pemerintah selama ini masih berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), bukan devisa dan kemampuan APBN setiap tahunnya. Artinya, kata dia, beban bunga utang hampir 25 persen dari APBN setiap tahunnya.

"Sementara dari sisi penerimaan pajak, tidak ada terobosan dalam peningkatan pendapatan negara. Amnesti pajak dinilai gagal menambal APBN. Ini menegaskan amnesti pajak hanya kampanye untuk karpet merah konglomerat," katanya.

Ia juga menilai, selama ini ada ketimpangan belanja antara pusat dan daerah di mana belanja kementerian masih lebih tinggi dari belanja daerah. Hal ini, artinya, membuat makin tingginya ketimpangan pusat dan daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement