REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hiswana Migas menilai margin insentif atau keuntungan yang diterima pengusaha stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE) masih dirasa tidak wajar atau kurang sesuai dengan keadaan ekonomi saat ini.
"Biayanya adalah sebesar Rp 300 per kilogram isi ulang gas, dan sudah 10 tahun angka tersebut tidak naik, padahal pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menggembar-gemborkan pembangunan infrastruktur, sementara 500 unit SPBE yang dibangun harus terus melayani masyarakat," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi ketika berdiskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Ahad (16/10).
Ia juga menjelaskan bahwa untuk margin harga yang relevan pada saat ini adalah paling tidak menyentuh angka Rp 600 sampai Rp 700 per kilogram isi ulang gas (elpiji). Menurutnya, kurangnya insentif yang ditawarkan membuat tidak banyak pengusaha untuk berkeinginan tertarik membangun SPBE dibandingkan dengan SPBU.
Kisaran untuk biaya investasi pembangunan satu unit SPBE ditaksir sebesar Rp 50 miliar, dan kisaran tersebut untuk daerah kecil, bukan kota besar seperti Jakarta. "Subsidi elpiji akan selalu menjadi problem, karena sebagian elpiji masih impor, berarti akan terus menguras devisa, keefisienan subsidi sistem terbuka masih rawan kebocoran, hal tersebut yang membuat masalah terus berkembang," kata Eri.
Sementara itu, menyambut terpilihnya Ignasius Jonan sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), beserta Arcandra Tahar sebagai Wakil Menteri ESDM ia mempunyai harapan agar mafia migas harus terus diberantas. Ia juga menyarankan agar Jonan segera beradaptasi secara cepat, mengingat mantan Menteri Perhubungan tersebut tidak memiliki latar belakang di bidang migas sebelumnya.
"Harus kebut belajarnya, agar bisa segera menentukan hal yang harus dilakukan terkait rantai distribusi di industri minyak dan gas, dengan begitu subsidi bisa digunakan untuk membantu insentif serta pembangunan infrastruktur energi," ujarnya.