REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan memberikan opini tidak wajar terhadap laporan keuangan SKK Migas pada periode semester pertama 2016. Hal ini dikarenakan adanya beberapa kelemahan dalam sistem keuangan yang ada dalam SKK Migas.
Ketua BPK, Harry Azhar Azis mengatakan, terdapat dua kelemahan yang dilakukan oleh SKK Migas meliputi, pertama, BPK menilai pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pascakerja berupa manfaat penghargaan atas pengabdian (MPAP), masa persiapan pensiun (MPP), imbalan kesehatan purna karya (IKPK) serta penghargaan ulang tahun dinas (PUTD) senilai Rp 1,02 triliun tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan. Selain itu berbagai pengakuan kewajiban itu merupakan bagian dari persoalan pemutusan hubungan kerja atau PHK yuang dilakukan terhadap para pegawai Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas atau BP Migas pada 13 November 2012.
Harry mengatakan BPK juga menemukan piutang abandonment and site restoration (ASR) kepada delapan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) senilai Rp 72,23 miliar belum dilaporkan, meskipun kewajiban pencadangan ASR telah diatur dalam klausul perjanjian atau production sharing contract.
"Dalam paket pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terkait perhitungan bagi hasil dan komersialisasi minyak dan gas, BPK menyatakan bahwa pembebanan cost recovery tidak sesuai ketentuan yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2010 tentang cost recovery, dengan permasalahan antara lain koreksi perhitungan bagi hasil minyak dan gas sebesar ekuivalen Rp 2,56 triliun," ujar Harry di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (4/10). Harry juga menambahkan ada juga 10 KKKS kurang setor pajak pengjasilan badan dan berpotensi untuk tidak dikenakan denda minimal 22,21 juta dolar AS atau seluruhnya ekuivalen Rp 1,08 triliun.