REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) memandang rencana pemerintah untuk mewajibkan sertifikasi halal kosmetik bertentangan dengan paket kebijakan ekonomi. Paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menekankan pada debirokratisasi dan deregulasi.
"Penambahan ini (sertifikasi halal) justru mennambah regulasi bagi pelaku usaha," ujar Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Perkosmi Dewi Rijah Sari kepada Republika.co.id Jumat (30/9).
Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) memberikan dampak ke berbagai jenis sektor dan produk. Perkosmi sendiri melihat dampak UU tersebut lebih luas dibandingkan pelaksanaan sertifikasi halal saat ini. Sertifikasi halal mencakup dua hal, yakni fasilitas produksi dan produk.
Untuk fasilitas produksi mencakup adanya sistem jaminan halal bagi pabrik. Sementara untuk sertifikasi produk yakni akan diberikan sertifikat halal untuk produk. Pelaksanaan UU JPH memberikan dampak dari hulu hingga hilir. Artinya, bukan hanya bagi pabik saja, tapi juga termasuk proses pemasaran, distribusi, dan pemasangan di toko harus dilakukan pemisahan.
Hal tersebut tidaklah mudah mengingat kosmetik adalah produk yang unik dan tidak bisa disamakan dengan makanan, minuman, serta obat-obatan. Kosmetik merupakan benda yang pemakaiannya di luar. Perkosmi menyarankan sebaiknya sertifikasi halal hanya diberlakukan bagi kosmetik yang mengklaim produknya halal.
Dewi mengatakan dari sisi urgensi, sertifikasi halal masih menjadi pertanyaan dari sebagian besar anggota Perkosmi. "Dari sisi teknis, kendala yang harus dihadapi asosiasi sangatlah besar," ujarnya.
Dia menjelaskan, bahan bakau kosemtik yanag digunakan saat ini 90 persennya masih impor. Jumlah jenis bahan baku yang dipakai untuk kosmetik ada 76 ribu jenis. Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), produk kosemtik yang telah diregistrasi hingga Agustus 2016 berjumlah 110 ribu produk. Jumlah ini lima kali lebih besar dari produk obat. Alhasil, kata Dewi, apabila sertifikasi halal diwajibkan untuk kosmetik maka akan menambah kompleksitas.
Belum lagi saat ini infrastruktur dan perangkat untuk melakukan sertifikasi halal kosmetik belum memadai. Misalnya saja belum tersedianya daftar positif atau negatif bahan baku kosmetik yang halal dan yang tidak. Hal tersebut hanya akan menambah beban bagi pelaku perusahaan kosmetik untuk memverifikasi produknya. Dewi menyebut formula kosmetik jauh lebih kompleks dari makanan.
Dari satu formula, bisa terdiri dari 10 hingga 30 bahan baku. Pemasok satu jenis bahan baku biasanya berjumlah banyak. Sementara itu, verifikasi bahan baku harus dimulai hingga ke sumbernya. Terkadang, satu pemasok mempunyai beberapa pabrik di lokasi berbeda. "Ini juga yang mendi tantangan bagi industri kosemtik untuk melakukan sertifikasi halal," ujar Dewi.