Senin 22 Aug 2016 00:37 WIB

MPSI Sebut Studi UI Soal Kenaikan Harga Rokok tidak Ilmiah

Red: Ilham
Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8). (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Paguyuban Mitra Pelinting Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi mengatakan, usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus akan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Wacana ini dikeluarkan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

"Hasil studi yang dikeluarkan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany itu adalah hasil studi yang tidak berdasar dan tidak ilmiah," katanya.

Ia mengatakan, apabila harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus, maka rokok tidak akan terbeli. Itu artnya, target cukai negara dipastikan anjlok. "Belum lagi kemungkinan marak beredarnya rokok tanpa cukai atau ilegal karena mahalnya harga rokok," katanya.

Masalah lain yang timbul adalah dari kalangan industri hasil tembakau (IHT) dan petani tembakau Indonesia, yang akan merasionalisasi tenaga kerja serta menyetop pembelian tembakau. Ini berakibat pada menurunnya pendapatan para petani tembakau, yang dikarenakan rokok sudah tidak terbeli.

"Dampak reduksi IHT akan menimbulkan PHK besar-besaran. Terutama dari kalangan tenaga kerja industri rokok yang jumlahnya secara nasional saat ini mencapai sekitar 1,5 juta tenaga kerja," katanya.

Ia mengatakan, pekerja pelinting sigaret yang tersebar di 38 koperasi mitra pelinting di wilayah Jatim, Jateng, Jabar, dan DIY juga akan merasa resah. Pekerjaannya akan terancam jika harga rokok dinaikkan Rp 50 ribu per bungkus.

"Ini kan sama saja dengan tindak terorisme, karena membuat orang resah disaat situasi tenang. Saya bisa tuntut itu," kata Djoko.

Menurut Djoko, kenaikan harga rokok yang wajar adalah berkisar enam persen atau seperti saat ini. Kenaikan enam persen akan sejajar dengan kenaikan tarif cukai yang berada pada angka yang sama.

Djoko menawarkan solusi agar pemerintah menaikkan cukai khusus sigaret kretek mesin (SKM) berfilter. Hal itu dilakukan apabila tujuan pemerintah menahan laju pertumbuhan perokok baru di kalangan anak muda.

Menurut Djoko, konsumen baru cenderung memilih rokok SKM berfilter yang dianggap lebih modern. Berbeda dengan sigaret kretek tangan (SKT) yang konsumennya cenderung berusia dewasa.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Surabaya mengaku usulan kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu itu sebagai kebijakan yang terburu-buru. Soekarwo mengatakan, jika alasan menaikkan harga rokok tersebut untuk mencegah anak agar tidak merokok, sangat tidak efektif. Sebab saat ini terdapat sekitar 6,1 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari rokok.

Hal ini termasuk juga pendapatan daerah dari cukai rokok yang sudah cukup tinggi. Provinsi Jawa Timur mendapatkan sumbangan dari cukai rokok hingga Rp 2,2 triliun, yang kemudian dibagi sebesar 30 persen untuk pemerintah provinsi dan sisanya untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement