Rabu 10 Aug 2016 01:05 WIB

Pemanfaatan Energi Panas Bumi Terhambat Lahan

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Energi panas bumi. Ilustrasi.
Foto: greenfieldenergyco.com
Energi panas bumi. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sulitnya pembebasan lahan masih menjadi pekerjaan rumah paling berat pemerintah untuk mengembangkan potensi panas bumi di Indonesia. Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Syaifulhak memaparkan dari total potensi panas bumi nasional sebesar 29,5 ribu Mega Watt (MW), baru 1.493,5 MW yang sudah terpasang dan bisa dimanfaatkan masyarakat.

Yunus menyebutkan kalau pembangunan fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tidaklah singkat. Rata-rata pengembangannya hingga bisa berproduksi memakan waktu tak kurang dari tujuh tahun. Targetnya, pengembangan panas bumi baru akan terasa perkembangannya pada 2020 mendatang di mana bakal ada tambahan kapasitas sebesar 800 MW.

Kementerian ESDM, kata Yunus, mencatat ada sejumlah kendala utama yang mengganjal pembangunan PLTP selama ini. Hambatan tersebut di antaranya adalah tumpang tindih lahan, harga atau tarif listrik, serta sumber pembiayaan proyek, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), dan juga isu sosial yang kerap kali membuat pengembang harus berurusan dengan masyarakat adat atau pemerintah daerah.

Sulitnya pembebasan lahan dan komunikasi dengan masyarakat setempat yang kerap kesulitan, pada akhirnya membuat pengembang panas bumi terkendala melakukan kegiatan operasionalnya termasuk tahap paling awal yakni eksplorasi. Yunus menjelaskan, pada 2016 sudah ada 5 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang masuk masa terminasi. WKP tersebut di antaranya terletak di Atedai, Lembata, Nusa Tenggara Timur; Hu'u, Dompu, Nusa Tenggara Barat, dan panas bumi di Ciater, Jawa Barat.

Yunus mengungkapkan, keputusan untuk memasukkan kelima WKP tersebut ke dalam masa terminasi disebabkan karena pengembang tidak melakukan sejumlah kewajiban kepada negara seperti kegiatan eksplorasi yang tidak dijalankan dan pembangunan infrastruktur seperti akses jalan yang mandeg.

"Itu semua perusahaan lokal, tidak ada gandengan dengan asing. Time line yang seharusnya ditepati tidak mereka lakukan," ujar Yunus, Selasa (9/8).

Solusi atas berbagai kendala yang dihadapi para pengembang, Yunus menyebutkan bahwa pemerintah telah memangkas perizinan. Setidaknya saat ini hanya tersisa 5 perizinan saja dari sebelumnya, butuh melalui 21 perizinan untuk membangun PLTP. Selain itu melalui UU nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, pemerintah akan menetapkan feed in tarif pembelian listrik oleh PLN kepada pengembang panas bumi dengan skema "sliding" yang harganya berjenjang.

"Misal badan usaha menang, ekeplorasi, dapatnya berapapun akan diakomodasi. Tidak ada lagi negosiasi. Semuanya sudah ada angkanya. Dibuat berdasarkan IRR (internal rate of return) yang menarik, dan based on infrastructure. Tapi nunggu aturannya," kata Yunus.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Abadi Purnomo menambahkan, dengan angka konsumsi listrik Indonesia yang masih 725 kilo Watt hour (kWh) per kapita, maka pengembangan panas bumi diyakini bisa mendongkrak capaian tersebut. Kebijakan Energi Nasional menyebutkan bahwa pada 2025 mendatang bauran energi bari terbarukan mencapai 23 persen termasuk energi panas bumi. Permasalahan yang muncul, lanjut Abadi, adalah kebijakan dalam KEN tersebut disusun pada 2015 lalu ketika pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen dan pertumbuhan konsumsi listrik menyentuh angka sembilan persen.

"Masalahnya saat ini pertumbuhan ekonomi kisaran empat atau lima persen. Jadi panas bumi sulit bersaing dengan energi fosil," kata Abadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement