REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara anggota G20 sepakat untuk proaktif dan bersinergi dalam mengatasi konsekuensi yang timbul pada perekonomian dan keuangan global pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Hal ini mengemuka dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral anggota G20 pada tanggal 23–24 Juli 2016, di Chengdu, Cina.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo yang didampingi oleh Deputi Gubernur Perry Warjiyo, serta dihadiri pula oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bambang Brodjonegoro.
Secara umum, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral anggota G20 memandang bahwa pemulihan ekonomi global masih berlanjut meski dengan pertumbuhan yang masih melemah dan belum sesuai harapan. Perekonomian global juga masih menghadapi berbagai risiko yang berasal dari faktor ekonomi dan non-ekonomi.
Secara khusus, hasil referendum terkait keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) turut menambah ketidakpastian di pasar keuangan global. Untuk merespons hal tersebut, anggota G20 sepakat untuk menempuh semua jenis kebijakan yang tersedia, baik moneter, fiskal, dan reformasi struktural, untuk menjaga kepercayaan dan mendukung pertumbuhan. Anggota G20 juga sepakat untuk proaktif dan bersinergi dalam mengatasi konsekuensi yang timbul pasca-Brexit.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo mengatakan, pentingnya komunikasi yang jelas dan rencana kontijensi yang efektif untuk mengurangi ketidakpastian dan risiko gejolak pasca-Brexit. Ia juga mendorong Inggris dan Uni Eropa untuk melanjutkan proses transisi yang mulus dan transparan menuju kemitraaan baru.
"Solusi optimal yang dicapai kedua pihak diyakini tidak hanya akan bermanfaat bagi kawasan Eropa, namun juga bagi perekonomian global," ujarnya dalam siaran pers Bank Indonesia (BI), Senin (25/7).
Bank Indonesia juga menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan ketahanan ekonomi global di tengah tingginya ketidakpastian dan risiko terjadinya guncangan.
Terkait hal ini, Bank Indonesia mengapresiasi IMF yang telah melakukan eksplorasi fasilitas baru yang sesuai dengan kebutuhan anggota, termasuk negara berkembang, sebagai salah satu agenda penguatan Jaring Pengaman Keuangan Global (Global Financial Safety Net atau GFSN).
Salah satu usulan konkret Bank Indonesia yang juga mendapat dukungan dari sejumlah negara G20 adalah pengembangan fasilitas pencegahan (precautionary facility) dari IMF yang menyerupai instrumen swap (swap like facility).
Pada pertemuan tersebut, dilakukan pula pemantauan dan evaluasi kemajuan kerja sama G20 sejak awal tahun 2016 di bawah kepemimpinan Cina. Kerjasama G20 tersebut meliputi tujuh agenda utama.
Pertama, perekonomian global. Kedua, kerangka kerja untuk pertumbuhan ekonomi global yang kuat. berkelanjutan, seimbang, dan inklusif. Ketiga, reformasi sektor keuangan. Keempat, arsitektur keuangan internasional.
Kelima, investasi dan infrastruktur. Keenam, perpajakan internasional. Dan terakhir, isu lainnya seperti pembiayaan terkait iklim dan lingkungan (climate and green finance). Selanjutnya hasil pertemuan tersebut akan dilaporkan pada KTT Kepala Negara G20 di Hangzhou, Cina, pada 4-5 September 2016.