Rabu 20 Jul 2016 19:34 WIB

Pembiayaan Korporasi Perbankan Syariah Lesu

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Perbankan syariah.
Foto: dok. Republika
Perbankan syariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembiayaan korporasi di sejumlah perbankan syariah mengalami kelesuan. Salah satunya yang dialami Bank Muamalat dan BNI Syariah. 

Komposisi pembiayaan korporasi BNI Syariah diprediksi belum akan berubah, sementara Muamalat mengurangi porsi korporasi.

Direktur Korporasi dan Komersial Bank Muamalat Indonesia, IndraYurana Sugiarto, mengatakan, hingga kuartal satu, pembiayaan korporasi masih lesu, tapi pada Juni sudah banyak realisasi. Pembiayaan korporasi Muamalat diharapkan bisa tumbuh 10 persen sampai akhir tahun ini.

Untuk pembiayaan korporasi, Muamalat banyak kerja sama dengan ormas Islam. Muamalat memiliki divisi yang fokus pada ormas Islam seperti Muhammadiyah, Hidayatullah, dan Nahdlatul Ulama. Pembiayaan korporasi bisa ditujukan untuk sekolah atau rumah sakit milik ormas-ormas Islam yang skalanya beragam. 

Layanan yang ditawarkan pun jadi satu dengan sistem pengelolaan kas (CMS), akun virtual, payroll, dan ATM. ''Bisnisnya akan banyak karena yang dikejar itu dana murah (CASA). Target keseluruhan CASA tahun ini 40 persen,'' kata Indra kepada Republika baru-baru ini.

Porsi pembiayaan korporasi dan komersial sekitar 60 persen dari total pembiayaan. Outstanding pembiayaan korporasi mencapai Rp 21 triliun dan komersial Rp 19 triliun. ''Strategi tahun ini, kami akan turunkan porsi korporasi dari 60 persen ke 40 persen dan lebih banyak membiayai ritel, konsumer, dan UKM. Ini agar risiko agar tersebar,'' ungkap Indra.

Selain kesehatan dan pendidikan, pembiayaan korporasi dan komersial Muamalat juga menyasar sektor infrastruktur, agrikultur, dan perdagangan. Di tengah kondisi seperti ini, pembiyaan perdagangan dinaikan dengan target pendapatan jasa (fee based income) bisa naik 50 persen dari Rp 100 miliar pada akhir 2015.

Untuk memfasilitasi pembiayaan perdagangan, Muamalat juga tengah menunggu izin produk hedging syariah. ''Karena ada yang berbisnis ekspor impor dan ada risiko kurs, ini perlu dimitigasi,'' kata Indra.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement