REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Industri keuangan syariah nasional dinilai tidak perlu mengkhawatirkan rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Isu Brexit justru lebih banyak pada pertaruhan Inggris. Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia Adiwarman A. Karim menyampaikan, sebagian pendapat mengatakan Uni Eropa (UE) jadi beban bagi Inggris dan keluar dari UE malah meringankan beban Inggris.
Sebagian lagi mengantisipasi retaliasi dari UE sehingga perdagangan antara UE dan Inggris terhambat. Pusat keuangan korporasi, termasuk keuangan Islam, memang di London. Tapi pusat sukuk di Luksemburg dan pusat perbankan ritel Islam di Jerman. "Jadi kalau yang terjadi adalah retaliation, maka Islamic corporate finance yang akan terkena imbasnya," ujar Adiwarman di Jakarta, Kamis (23/6).
Indonesia yang basisnya perbankan ritel Islam tidak akan terimbas signifikan. Sukuk global pemerintah Indonesia juga sangat laku di pasar global. Direktur Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB Irfan Syauqi Beik membenarkan bahwa saat ini Inggris memang pusat keuangan syariah terbesar di Eropa.
Tapi, kalau melihat keluarnya Inggris dari UE terhadap industri keuangan syariah Indonesia, Irfan menilai dampaknya tidak akan terlalu besar. Untuk industri keuangan syariah global, beberapa negara terutama Timur Tengah yang telah menempatkan dananya dalam bentuk investasi keuangan syariah di Inggris, mungkin akan terkena gejolak. Soal seberapa besar pengaruhnya, Irfan memprediksi secara umum industri keuangan syariah global tidak terlalu berguncang.
"Justru saya melihat pertaruhan terbesarnya pada Inggris," kata Irfan. Inggris berpotensi kehilangan investor syariah kalau tidak bisa mengelola isu Brexit dengan baik. Keluarnya Inggris dari UE tidak menimbulkan gejolak pada fundamental ekonominya.
Oleh karena itu, para investor syariah tidak akan menarik dana dari Inggris. Inggris justru harus menjaga agar iklim investasi syariah di sana tetap stabil.