Senin 20 Jun 2016 14:10 WIB

BPK Sebut Data Lahan Padi yang Digunakan Pemerintah tak Akurat

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nur Aini
Seorang petani membajak sawah dengan menggunakan traktor di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. (Republika/Edi Yusuf)
Foto: Republika/ Edi Yusuf
Seorang petani membajak sawah dengan menggunakan traktor di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan data survei lahan produktif untuk bahan makanan pokok seperti padi dan bawang merah kurang valid. Artinya luasan lahan yang dianggap Kementerian Pertanian masih dipergunakan untuk melakukan produksi, sebenarnya mulai berkurang. Ini mencerminkan bahwa data lahan yang dipunyai Kementan tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan.

Anggota IV BPK Rizal Djalil mengatakan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan kinerja pengadaan pangan nasional di Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait. Dengan jumlah pangan yang cukup banyak, BPK memfokuskan pada lahan padi yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.

Menurut Rizal, tidak validnya data hasil survei termasuk Kementan, membuat pemerintah menunjuk Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi satu-satunya lembaga yang menjadi corong hasil pendataan. Hal ini dilakukan agar data yang dibuat bisa dari satu sumber dengan kemungkinan beda data yang lebih sedikit.

"Ini juga disampaikan Presiden pada Sensus Ekonomi yang meminta semua pendataan hasil survei hanya satu dari BPS. Kita semua mengerti dan bisa menafsikannya kan," ujar Rizal di kantornya, Jakarta, Senin (20/6).

Rizal menyampaikan, persoalan data yang tidak valid bisa menimbulkan persoalan, khususnya dalam menentukan nilai impor. Dengan adanya kepastian jumlah lahan, maka angka produksi bahan pokok bisa lebih akurat. Keakuratan ini kemudian bisa membuat pemerintah mengetahui akan seberapa besar impor yang dilakukan.

"Kalau datanya memang memperlihatkan produksi kurang dan harus impor. Kita impor saja, asal data pendukungnya benar," lanjut Rizal.

Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan BPK Blucer Welington Rajaguguk menuturkan, saat ini banyak pernyataan bahwa hasil produksi sejumlah pangan sebenarnya tidak kurang. Namun ini berkebalikan dengan impor bahan pokok tersebut yang masih dilakukan pemerintah. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa ada hal yang tidak sinkron.

Blucer menjelaskan, metodologi perhitungan produksi yang awalnya dilakukan BPS kemudian berubah dan mengikutsertakan Kementerian Pertanian melalui dinas-dinas terkait dalam melakukan survei lahan dan produksi, sehingga ada dua data.

Sayang data yang dilakukan Kementan sejauh ini tidak pas. ‎ Data jumlah lahan yang mereka gunakan tiap tahun hampir sama. Padahal peningkatan pembangunan di daerah terus berkembang yang membuat lahan pertanian kian menipis.

"Ini ada masa industri kan, makanya ada perubahan peruntukan‎ dari lahan yang ada. Nah perubahan ini tidak disesuaikan sehingga angka lahan masih sama dan kalau dikalikan jumlah produksi jelas membuat produksi tidak akan kurang. Ini jadi masalah," kata dia.

Selain itu, Blucer mengatakan bahwa cara melakukan survei di sejumlah negara sudah menggunakan sistem canggih. Tapi di Indonesia pendataan jumlah lahan masih banyak menggunakan pandangan mata. Cara ini merupakan kebiasaan yang sudah harus ditinggalkan, dan menguatkan data survei lahan memakai teknologi. "Ini adalah persoalan data yang sangat kronis," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement