REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah diminta memperketat pengawasan atas pelaksanaan kebijakan B20 atau pencampuran solar murni dengan 20 persen biosolar, sebelum dipasarkan. Hal ini karena masih adanya badan usaha yang menjual produk solar untuk industri tanpa terlebih dahulu dicampur dengan biosolar. Belum lagi, produk solar untuk industri ini dijual dengan harga di bawah solar bersubsidi yang telah melewati proses pencampuran 20 persen biosolar.
Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menjelaskan, kebijakan untuk mencampur solar dengan 20 persen biosolar adalah suatu keharusan yang tak pandang bulu. Terlebih, kata dia, pemerintah mengkompensasi dari Badan Layanan Umum (BLU) sawit dan ke depannya dengan dana ketahanan energi (DKE). Ia menilai, kondisi ini bertentangan dengan mandat yang tertuang dalam Peraturan nomor 29 tahun 2015 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
"Kalau kondisinya seperti ini, perlu ada perubahan Permen yang memberikan efek jera bagi pelanggar yang tidak menerapkan pencampuran biodiesel," kata Satya, Jumat (3/6).
Satya menilai perlu adanya peningkatan pengawasan oleh pemerintah di lapangan untuk memastikan kebijakan B20 benar berjalan sesuai amanat pemerintah sendiri. Hal ini karena negara berpotensi kehilangan Rp 17 triliun dari nilai subsidi solar.
"Kita tekankan fungsi pengawasan di sini. Sampai yakin kalau subsidi ini memenuhi standar," katanya.
Pertamina mencatat, penjualan solar baik subsidi dan nonsubsidi pada 2015 lalu mencapai 19,9 juta kiloliter (KL), dengan 14 juta KL di antaranya adalah solar bersubsidi. Tahun lalu, pemerintah sempat mendengungkan adanya sanksi bagi badan usaha yang tak taat dalam kebijakan B20 ini dengan denda Rp 6.000 per liter.
Sementara itu, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Bambang menilai, penerapan B20 terkendala bagi konsumen industri.
"Selain spesifikasinya turun, operasionalnya susah, mengendap, dan harga mahal," kata Ahmad.