REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2015 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilakukan BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan tiga rumah sakit pemerintah belum sepenuhnya efektif dalam memberikan pelayanan kepada peserta.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz menjelaskan, pada semester II 2015, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan terhadap enam objek pemeriksaan kesehatan yang terdiri atas lima objek pemeriksaan JKN dan satu objek Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
"Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak," ujarnya pada penyerahan IHPS dan LHP Semester II Tahun 2015 dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4).
Ia melanjutkan, pemeriksaan BPK pada BPJS Kesehatan bertujuan untuk mengidentifikasi kendala penyelenggaraan program JKN yang dapat berimplikasi pada tidak tercapainya tujuan kepesertaan semesta tahun 2019, mengidentifikasi serta mengevaluasi penyelenggaraan program JKN, baik dari segi perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi 2014 dan semester I 2015.
"Penyelenggaraan program JKN oleh BPJS Kesehatan pada 2014-2015 berdampak cukup signifikan terhadap penjaminan kesehatan dalam rangka pengentasan kemiskinan," ujarnya.
Hasil pemeriksaan menunjukkan penyelenggaraan program JKN pada BPJS Kesehatan belum sepenuhnya efektif karena masih terdapat kendala yang berpotensi menghambat tercapainya tujuan kepesertaan. Ia menerangkan, permasalahan yang masih perlu mendapat perhatian di antaranya penetapan target indikator kinerja dan proses evaluasi kinerja unit-unit kerja BPJS Kesehatan belum terukur dengan jelas dan memadai.
Ia melanjutkan, BPJS Kesehatan tidak memiliki pedoman penyusunan target dari setiap indikator atau inisiatif strategis, baik yang terdapat pada Annual Management Contract (AMC) dan Annual Performance Contract (APC) maupun penyusunan target dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT).
"Tidak ada dasar rumus perhitungan yang seharusnya digunakan. Akibatnya, sasaran atau target indikator kinerja dan proses evaluasi kinerjanya tidak dapat diukur secara memadai," ungkapnya.
Harry juga mengungkapkan, BPJS Kesehatan belum optimal dalam melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan pihak terkait mengenai kasus kecelakaan kerja maupun kecelakaan lalu lintas. Akibatnya, peserta JKN tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai mengenai kejelasan penjamin pembayaran apabila mendapat kecelakaan kerja maupun kecelakaan lalu lintas.
Selain itu, fasilitas kesehatan terhambat mendapatkan pendapatan dari jasa pelayanan kesehatan, sehingga berpotensi mengganggu pelayanan kesehatan. BPJS Kesehatan, ia katakan, telah menyatakan berbagai permasalahan dan kelemahan yang ada telah berusaha diperbaiki.
Dalam pemeriksaan ini, BPK merekomendasikan kepada Direksi BPJS Kesehatan agar menyusun pedoman penghitungan dan penetapan serta evaluasi atas sasaran atau target indikator kinerja yang akan dicapai dalam RKAT, meningkatkan koordinasi secara berkala yang dituangkan dalam surat edaran bersama antara BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan PT Jasa Raharja mengenai penjaminan prosedur kecelakaan kerja dan kecelakaan lalu lintas.
Baca juga: BPK Temukan Kelebihan Biaya di Cost Revovery 7 KKKS Migas