REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta melakukan supervisi terhadap Inpex, perusahaan yang 50 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Jepang, agar dapat melakukan Final Investment Decision (FID) paling lambat tahun 2018. Peringatan tersebut disampaikan mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto.
“Perkiraan saya, Inpex akan menunda-nunda lagi pengembangan proyek tersebut dan baru melakukan FID pada 2023, sehingga produksi gas baru dirasakan manfaatnya pada 2028,” kata Hari di Jakarta, Kamis (31/3).
Hari pun mengajak semua pihak guna mencermati time frame yang disiapkan Inpex. Secara teoritis, lanjutnya, dengan mempertimbangkan hal-hal teknis seperti proses pre FEED (Front-End Engineering Design), FEED, tender EPC (engineering, procurement, construction), FID, dan EPC, maka FID dapat dilakukan paling lambat 2018. “Dengan masa EPC 48 bulan, berarti LNG sudah dapat diproduksi mulai 2022,” kata Hari.
Dengan memperhatikan proses tesebut, Hari melanjutkan, Inpex berpotensi melakukan upaya penundaan. Cara yang bisa dipakai adalah isu perpanjangan Production Sharing Contract (PSC) yang berakhir tahun 2028. Guna mengantisipasi hal itu, pemerintah bisa memerintahkan Pertamina sebagai pembeli LNG domestik paling kredibel untuk menyerap produksi LNG tersebut.
“Dengan adanya kepastian pembeli, maka Inpex tidak lagi punya alasan untuk menunda-nunda,” tegas Hari.
Hari menambahkan, Pertamina juga bisa diberikan fleksibilitas berupa Indonesian Participation dan atau Perticipating Interest, misalnya sebesar 10 persen. Dengan demikian, terdapat wakil pemerintah yang turut mengamati pengambilan keputusan dari dalam konsorsium Inpex dan Shell.
Terkait potensi Inpex akan menunda proyek Blok Masela, Hari punya beberapa catatan. Pertama, pro kontra sejak 2015 soal Masela merupakan ulangan peristiwa 2009/2010. Nyaris serupa, yakni soal offshore dan onshore. Karena itu, bukan mustahil keriuhan tersebut merupakan bagian dari skenario tertentu. Kedua, kajian kedua konsultan yang ditunjuk dalam waktu yang berbeda ternyata mempunyai rekomendasi sama, yaitu produk yang terbaik adalah FLNG, bukan LNG yang diproduksi di darat.
Ketiga, pada kedua pembahasan pro kontra tersebut, Inpex tidak atau belum melakukan kegiatan pemasaran LNG. “Siapapun tahu, proyek LNG dengan nilai sangat fantastis, 15-20 miliar dolar AS, mustahil dibangun jika belum ada pembelinya.”
Adapun catatan keempat, lanjut Hari, pasar LNG Jepang saat ini sedang dalam kondisi "over supply" hingga 2028. Catatan kelima, 50 persen saham Inpex adalah milik Pemerintah Jepang, sehingga bukan tidak mungkin gas Masela merupakan porto folio Inpex dan bangsa Jepang. Dan keenam, Inpex juga merupakan operator proyek LNG Ichtys di Australia yang berhadapan dengan lapangan Masela.
“Tentu saja Inpex tidak akan merelakan kedua proyek mereka saling bersaing untuk memasuki pasar Jepang,” kata Hari.
Hari menduga, Inpex akan memprioiritaskan Ichtys daripada Masela. Buktinya, proyek Ichtys sudah mulai dibangun dan rencananya akan memasok LNG ke Jepang pada 2023, yakni tahun ketika gas Masela sudah harus diproduksi.
“Mencermati hal-hal tersebut, bukan tidak mungkin segala macam keruwetan pro kontra ini memang disengaja. Tujuannya, agar produksi gas Masela tertunda dengan menyesuaikan kondisi dan kebutuhan pasar di Jepang, yang baru membutuhkan tambahan pasokan LNG setelah 2028,” kata Hari.