REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk menaikan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) per tanggal 1 April 2016 diprotes oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Apindo pun justru mendorong dilakukannya pembenahan di internal BPJS terlebih dahulu.
"Mereka harus efisiensi internal BPJS masing-masing. Jadi tanpa dilakukan pembenahan di dalam, itu akan selalu tekor. Itu harus selalu dibenahin. Karena kalau kita dari swasta, itu klaim rasionya kecil, kita hanya 70 persen... Kita belum tahu di pengelolaan BPJS sendiri kaya apa," kata Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani, di Jakarta, Senin (28/3).
Sebab itu, pengusaha-pengusaha di Indonesia pun merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut. Selain itu, Hariyadi juga menyebut sejumlah kebijakan-kebijakan pemerintah justru membuat perusahaan di tanah air tak produktif dan tidak kompetitif. Seperti adanya kebijakan kenaikan iuran BPJS, biaya pelabuhan, dan lainnya. Kondisi ini, kata dia, menyebabkan pergerakan ekonomi di dalam negeri pun lamban.
"Sekarang kebijakan-kebijakan membuat tidak produktif, tidak kompetitif. Contoh, BPJS kesehatan dinaikan iurannya, biaya pelabuhan, ada tarif progresif, dari segi pengetatan uang, ya bunganya turun tapi uangnya nggak ada," kata Hariyadi.
Apindo pun mendorong agar segera dilakukan revisi terhadap UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar dapat membenahi seluruh permasalahan ketenagakerjaan saat ini.
"Apindo mendorong untuk segera dilakukan amandemen UU 13/2003. Karena itu masalahnya di sana semua, diperbaiki," tambah dia.
Sebelumnya, Hariyadi memprotes kebijakan kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam peraturan presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2016. Dalam pasal 16 D, menyebutkan bahwa batas gaji paling tinggi per bulan yang digunakan sebagai acuan perhitungan besaran iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah (PPU) sebesar Rp 8 juta. Nilai ini meningkat dari nilai sebelumnya di angka Rp 4,72 juta.
Kebijakan inipun dinilai menekan pengusaha yang selama ini telah menambah pengeluaran untuk menanggung pekerjanya yang memiliki upah maksimal Rp 4,72 juta.
"Ini jelas memberatkan kami sebagai pengusaha. Kami merasa sangat terbebani," ujar Hariyadi, Ahad (27/3).
Hariyadi mengatakan, dalam pasal 16 D memang tidak disebutkan bahwa BPJS yang dibebankan kepada pengusaha akan naik. Namun dalam peraturan tersebut terdapat kenaikan plafon gaji bagi pegawai yang bisa menerima fasilitas BPJS. Artinya dengan kenaikan ini akan ada pekerja di perusahaan yang iuran BPJS kembali wajib dibayarkan oleh pengusaha. Hal ini jelas berdampak pada pengeluaran perusahaan untuk pembayaran BPJS.
Hariyadi menyebut bahwa kenaikan nilai gaji yang berdampak pada iuran BPJS yang harus dibayar perusahaan justru lebih besar dibanding peserta mandiri yang dibebani kenaikan sebesar Rp 4.500 hingga Rp 20.500 per orang setiap bulan.
Menurut Hariyadi, dari data yang dimiliki Apindo, rasio klaim BPJS Kesehatan dari PPU swasta mencapai 70 persen. Nilai ini jauh lebih rendah dengan rasio klaim peserta mandiri yang mencapai 300 persen. Hal ini diyakini menjadi salah satu penyebab BPJS Kesehatan kerap kali kelimpungan masalah dana.
Adanya kesulitan keuangan, kata Hariyadi, BPJS lantas dengan mudah membebankan kenaikan untuk penambahan anggaran mereka melalui perusahaan swasta. Padahal tata kelola BPJS yang tidak baik membuat mereka membutuhkan dana tambahan dalam menutupi klaim BPJS dari peserta mandiri.