Ahad 27 Mar 2016 19:11 WIB

Pengusaha Tercekik Kebijakan Baru BPJS

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Achmad Syalaby
Pembagian kartu BPJS (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pembagian kartu BPJS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan menaikkan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) per tanggal 1 April 2016. Kenaikan ini tertuang dalam peraturan presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2016. 

Dalam pasal 16 D, menyebutkan bahwa batas gaji paling tinggi per bulan yang digunakan sebagai acuan perhitungan besaran iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah (PPU) sebesar Rp 8 juta. Nilai ini meningkat dari nilai sebelumnya di angka Rp 4,72 juta.

Melihat kebijakan ini, sejumlah pengusaha mulai mengeluhkan aturan yang akan diterapkan BPJS. Sebab hal ini akan menekan pengusaha yang selama ini telah menambah pengeluaran untuk menanggung pekerjanya yang memiliki upah maksimal Rp 4,72 juta.

"Ini jelas memberatkan kami sebagai pengusaha. Kami merasa sangat terbebani," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, Ahad (27/3).

Hariyadi mengatakan, dalam pasal 16 D memang tidak disebutkan bahwa BPJS yang dibebankan kepada pengusaha akan naik. Namun dalam peraturan tersebut terdapat kenaikan plafon gaji bagi pegawai yang bisa menerima fasilitas BPJS. Artinya dengan kenaikan ini akan ada pekerja di perusahaan yang iuran BPJS kembali wajib dibayarkan oleh pengusaha. Hal ini jelas berdampak pada pengeluaran perusahaan untuk pembayaran BPJS.

Hariyadi menyebut bahwa kenaikan nilai gaji yang berdampak pada iuran BPJS yang harus dibayar perusahaan justru lebih besar dibanding peserta mandiri yang dibebani kenaikan sebesar Rp 4.500 hingga Rp 20.500 per orang setiap bulan. 

Terlebih, kebijakan ini dianggap tidak sesuai dengan kesepakatan antara pemangku BPJS Kesehatan dengan Apindo yang sebelumnya telah disepakati. Di mana perusahaan akan menanggung iuran BPSJ Kesehatan untuk pekerja yang memiliki gaji maksimal dua kali dari nilai penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yaitu dua kali Rp 2,02 juta.

Menurut Hariyadi, dari data yang dimiliki Apindo, rasio klaim BPJS Kesehatan dari PPU swasta mencapai 70 persen. Nilai ini jauh lebih rendah dengan rasio klaim peserta mandiri yang mencapai 300 persen. Hal ini diyakini menjadi salah satu penyebab BPJS Kesehatan kerap kali kelimpungan masalah dana. Apalagi para peserta mandiri sering kali mengklaim BPJS saat mereka telah jatuh sakit, bukan membayar saat mereka masih sehat.

Adanya kesulitan keuangan, lanjut Hariyadi, BPJS lantas dengan mudah membebankan kenaikan untuk penambahan anggaran mereka melalui perusahaan swasta. Padahal tata kelola BPJS yang tidak baik membuat mereka membutuhkan dana tambahan dalam menutupi klaim BPJS dari peserta mandiri.

"Mereka (BPJS) ini tidak melihat secara luas dan mereka cari gampangnya saja. Jadi mereka membebani karyawan yang akan berdampak pada perusahaan. Padahal ini adalah merupakan pengelolaan yang salah dari BPJS itu sendiri. Sekarang saja masih banyak perusahaan belum bayar, itu dulu yang ditagih," lanjut Hariyadi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement