REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga beras dilaporkan naik di sejumlah daerah di Indonesia meski musim panen telah tiba.
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia Sutarto Alimoeso mengungkapkan, harga beras sejatinya ditentukan hukum permintaan. Artinya ketika permintaan tinggi dan pasokan kurang, maka harga akan naik.
Sedangkan ketika pasokan banyak dan permintaan menurun, maka harga akan anjlok. Yang terjadi saat ini, lanjutnya, adalah musim panen yang mulai tiba sehingga seharusnya pasokan berlimpah dan harga akan menurun.
"Saya melihatnya kondisi begini harusnya turun ya. Harga ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Pertama, kalau saat panen raya harga cenderung turun. Kenapa? Karena pasarnya kan itu juga. Kalau terjadi surplus kan tentunya pada saat panen raya surplus banyak, nah pada saat itu terjadi pengurangan, dan harga cenderung turun," kata Sutarto, Jumat (12/3).
Pemerintah, lanjutnya, memiliki kewenangan menjaga harga melalui Bulog. Sutarto yang juga mantan Direktur Utama Bulog ini menyebutkan, kenaikan harga bisa dikendalikan dengan operasi pasar.
Hanya saja, operasi pasar menurutnya hanyalah satu instrumen saja. Ia mendesak pemerintah pusat harus bekerja sama dengan pemerintah daerah serta kelompok tani dan penggilingan kecil di daerah untuk bisa ikut menyalurkan beras hasil panen ke masyarakat.
"Kalau betul Bulog jadi stabilisator maka Bulog harus tingkatkan kerja sama dengan pemerintah daerah dan harus punya alat. Makanya dulu sempat dirintis sebagai pusat distribusi pangan kita buka di wilayah sehingga beras tidak lari ke mana mana sehingga tidak dipakai di daerahnya," kata dia.
Sutarto lantas mengambil satu contoh yang membuat harga beras mahal. Misalnya, beras yang dihasilkan di Demak, Jawa Tengah lantas ditampung oleh penggilingan padi dari luar Demak. Akibatnya, beras tersebut bisa didistribusikan sampai Jawa Barat, Jawa Timur, atau daerah lainnya.
Hal ini yang menurutnya membuat harga beras bisa melambung. Ia menilai, Bulog harus memastikan beras di suatu daerah bisa terserap maksimal di daerah tersebut sebelum didistribusikan ke daerah lainnya.
"Mau tak mau Bulog harus kerja sama dengan kelompok tani. Supaya yang kerja sama bukan tengkulak lagi. Kalau seluruh Indonesia punya kerja sama sekitar dua juta hektare saja itu sudah banyak. Gabah yang didapat sudah bisa banyak," ujarnya.