Selasa 08 Mar 2016 04:33 WIB

Publik Justru Ingin Harga Plastik Rp 2.000

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
 Kantong belanja mulai dijual untuk menyukseskan program pengurangan kantong plastik di salah satu toko ritel Kota Bandung, Ahad (21/2). (Republika/Edi Yusuf)
Kantong belanja mulai dijual untuk menyukseskan program pengurangan kantong plastik di salah satu toko ritel Kota Bandung, Ahad (21/2). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Manager Program DeTara Foundation yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan, Ika Satyasari mengatakan kebijakan kantong plastik berbayar di Indonesia belum dipersiapkan matang. Sebelum harga per kantong plastik ditetapkan Rp 200,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadakan survei secara online tentang tanggapan masyarakat terkait kantong plastik berbayar.

Berdasarkan hasil survei KLHK, sebanyak 87, 2 persen responden setuju penerapan kebijakan kantong plastik berbayar, sementara 77, 8 persen di antaranya menginginkan kisaran harga yang diberlakukan Rp 500-2.000. Ika menyayangkan penetapan harga per kantong plastik pada masa uji coba di beberapa kota besar justru lebih rendah dari harga yang dikehendaki masyarakat melalui survei.   

“Jangan mengatasnamakan 200 perak per kantong plastik sebagai dana menyelamatkan lingkungan. Degradasi lingkungan akibat sampah plastik jauh lebih mahal bahkan berdampak kepada generasi selanjutnya,” kata Ika kepada Republika, Senin (7/3).

Peritel terkemuka di Indonesia, seperti Indomart dan Alfamart berdalih kantong plastik ramah lingkungan yang mereka berikan kepada konsumen dapat hancur selama 3-5 tahun. Sampai saat ini, kata Ika belum ditemukan bukti akademis bahwa plastik-plastik tersebut benar-benar biodegradable atau hanya lebih cepat hancur saja.

Secara nalar, kantong plastik petrochemical yang terbuat dari turunan minyak bumi susah untuk dihancurkan oleh mikroorganisme. Kemampuan hancurnya kantong plastik tersebut di alam lebih pada photodegradable. Artinya, dengan hancur dan terurainya kantong plastik di alam tidak berarti permasalahan selesai, karena partikel-partikel mikro dari plastik tetap tersisa yang bisa saja masuk ke air dan tanah.

“Partikel-partikel mikro yang beracun tersebut dapat masuk ke dalam rantai makanan kita melalui tumbuhan, tanaman, hewan ataupun ternak yang kita konsumsi,” kata Ika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement