REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pendiri Bali Organic Association, Ni Luh Kartini menilai konsumen tidak akan merasakan efek jera dan efek disiplin dari kebijakan kantong plastik berbayar Rp 200 yang diterapkan pemerintah. Masyarakat dinilainya akan tetap membeli kantong plastik.
“Bumi ini tak mampu lagi menampung plastik. Jika pemerintah benar ingin mengurangi kantong plastik, yang harus dilakukan semestinya meminimalkan bahkan meniadakan penggunaannya melalui serangkaian aturan ketat,” kata Kartini kepada Republika.co.id, Senin (7/3).
Aturan ketat tersebut misalnya membatasi penggunaan plastik di level peritel dalam kuota tertentu per bulan. Jika ingin lebih tegas, pemerintah bisa meminta peritel menghentikan pemberian kantong plastik dan menggantinya dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan.
Kebijakan kantong plastik berbayar, kata Kartini masih sebatas pada tatanan jual beli. Pemahaman dan kesadaran masyarakat akan sampah plastik itu sendiri belum ada. Pemerintah belum berani menolak plastik.
Manager Program DeTara Foundation yang berbasis di Bogor, Ika Satyasari mengatakan kebijakan ini tidak dapat menekan peritel untuk mengurangi kantong plastik. Pengumpulan dana dari hasil pendapatan kantong plastik berbayar Rp 200 juga belum disepakati bersama akan disetor ke mana dan dikelola oleh siapa.
Harga minimal per kantong plastik di swalayan di Indonesia, menurut Ika setidaknya minimal Rp 5.000 atau harga yang sekiranya pembeli akan malas untuk membayarnya. Hal ini akan mengedukasi pembeli agar pada kesempatan berbelanja berikutnya mereka akan membawa tas atau wadah sendiri.
Perwakilan Pusat Perbelanjaan Tiara Dewata, Novie Setyo Utomo sebelumnya mengatakan pusat perbelanjaan terbesar di Bali tersebut mulai mengurangi penggunaan kantong plastik untuk diberikan ke pelanggan. Pihaknya juga menyediakan tas daur ulang berbahan khusus yang ramah lingkungan.