REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi Ferdinand Hutahaean menyoroti polemik pembangunan fasilitas gas alam cair atau LNG di Lapangan Abadi, Blok Masela, Maluku yang terus bergulir hingga kini.
Pemerintah masih belum memutuskan apakah fasilitas LNG akan dibangun di laut (offshore) atau di darat (onshore). Perbedaan pendapat justru terjadi di dalam pemerintahan.
"Entah apa yang ada dalam pikiran para pejabat negara ini, entah apa juga yang direncakan pemerintah ini terhadap masa depan Masela yang bertabur kekayaan dan kesejahteraan diperut buminya yang meski sudah dikuasai asing dan bahkan dengan bangga kita pasrahkan diri pada penguasaan asing," kata Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia ini kepada Republika, Jumat (4/3).
Ia menyayangkan, terbelah sikap mulai dari presiden yang tidak tegas, wapres yang tertawa atas konflik menterinya, dan kegaduhan menteri yang ia nilai bekerja untuk perut sendiri, sera kaum cerdik pandai cendikia yang larut dalam konflik dukung-mendukung onshore dan offshore bukan karena ideologi kenegaraan tapi kepentingan perut yang berpihak pada teman yang berkuasa, dan di edisi akhir ada masyarakat yang juga terbelah meski tidak paham apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan cenderung terbuai mimpi janji-janji kosong bagai cerita dongeng.
Penentuan nasib Masela yang tak kunjung putus, ia katakan, sebagai sebuah cerminan betapa pemerintah tidak paham tentang bagaimana membangun Indonesia, tidak paham makna Pasal 33 UUD 45, dan paling memprihatinkan adalah konflik ini menunjukkan pemerintah ini memang amburadul dan tidak mampu memanage dirinya menjadi sebuah tim kerja yang solid, kuat dan satu visi.
"Presiden pernah sampaikan bahwa tidak boleh ada visi lain, yang ada hanya visi presiden, tapi entah kemana presidennya dan entah apa yang terjadi pada presiden kenapa mengangkat mentrinya yang ternyata tidak paham visi presidennya dan ternyata punya visi sendiri," lanjutnya.