REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Dua puluh negara ekonomi utama dunia, termasuk gubernur bank sentral dan seluruh menteri keuangan berkumpul di Shanghai hingga akhir pekan lalu. Mereka meninjau kondisi ekonomi global dan memecahkan permasalahan yang muncul.
Harga komoditas rendah memukul pasar ekspor. Pasar juga menerima sinyal fluktuatif di tengah kabar the Federal Reserve Amerika Serikat (the Fed) berencana menaikkan suku bunga kembali, sementara Eropa dan Jepang saat ini menerapkan suku bunga negatif.
Sejumlah ekonom, investor, dan pejabat terkait mengatakan ekonomi global masih rapuh dalam beberapa tahun terakhir. Berikut adalah lima hal penting dari rapat G-20, dilansir dari Wall Street Journal, Senin (29/2).
Risiko penurunan (downside risk)
Sejak pimpinan-pimpinan G-20 mengadakan pertemuan puncak November 2015, prospek ekonomi global bertumbuh di tengah goncangan. Risiko penurunan dan kerentanan ekonomi semakin meningkat. Volatile capital flows dan penurunan harga komoditas menyebabkan erosi pertumbuhan global.
Bukan hanya membahas ekonomi
Ketegangan geopolitik juga dibahas khusus dalam pertemuan ini, tidak melulu membahas masalah ekonomi, terutama di Eropa. Inggris berpotensi keluar dari Uni Eropa dan ini menjadi faktor risiko terbesar. Lainnya adalah masalah arus pengungsi di sejumlah negara di Eropa.
Tidak satu suara soal IMF
Semua item moneter, kebijakan fiskal dan struktural, baik individu atau kolektif diajukan dalam pertemuan tersebut. Namun, G-20 tak bulat bersepakat menambah masukan dari Dana Moneter Internasional (IMF) jika terjadi lonjakan pengeluaran fiskal untuk mengantisipasi lesunya ekonomi akibat suku bunga rendah. Kebijakan moneter saja dinilai tak bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi seimbang.
Pasar bereaksi berlebihan
G-20 juga mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi harus didorong terus berkembang secara moderat. Ini untuk meningkatkan pertumbuhan global dengan tamabahan dua persen pada 2018.
Menahan devaluasi mata uang
Beberapa negara G-20 khawatir negara-negara ekonomi utama akan melemahkan mata uang mereka supaya lebih kompetitif. Ini akan memicu devaluasi spira. Cina menjadi pusat perhatian mengingat ekonominya melambat, jatuhnya pasar saham, pelemahan yuan di tengah banjir modal dalam beberapa bulan terakhir.
Kepala Bank Sentral Cina berusaha meyakinkan anggota G-20 lainnya bahwa devaluasi lanjutan tak akan terjadi dalam waktu dekat. Semua negara menegaskan komitmennya untuk menahan diri dari kebijakan devaluasi.