REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) mengindikasikan akan melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak pada April 2016 menyusul fase penurunan harga rata-rata minyak mentah dunia sejak akhir 2015.
"Kemungkinan April akan turun karena rata-rata harga BBM subsidi atau PSO itu selama tiga bulan lalu, atau rata-rata tiga bulan. Itu dihitung turun, untuk tiga bulan ke depan, kita lihat ini kemungkinan turun," kata Direktur Pemasaran PT Pertamina Ahmad Bambang di SPBU Coco Abdul Muiz Jakarta, Rabu (17/2).
Penyesuaian harga tersebut di Indonesia, kata Bambang, dari rata-rata harga minyak mentah dunia per tiga bulan di mana harga terakhir perhitungannya dilakukan mulai dari 25 Desember 2015 hingga 24 Maret 2016.
Kendati demikian, potensi untuk penurunan harga premium dan solar ini bisa berubah naik, jika harga minyak kembali naik drastis, menyusul pertemuan antara Pemerintah Arab Saudi dan Rusia terkait penetapan batas atas produksi minyak.
"Kalau untuk (penetapan) harga ini tiga bulan sekali, tetapi rata-rata minyak dunia itu sekarang kan turun, saya rasa kita akan turun," kata dia.
Selain itu, dia menambahkan, di tengah anjloknya harga minyak dunia, Pertamina tetap bisa mempertahankan keuntungan perusahaan dari penjualan BBM baik bersubsidi maupun non subsidi. "Jadi, saya katakan 2015 akibat tertolong oleh Oktober, November dan Desember yang turun harga rata-ratanya, solar dan premium untung. Sebetulnya untuk PSO, Pertamina punya margin 1,4 persen, ada untung, tidak rugi," kata dia.
Bambang mengatakan pada awal 2015, Pertamina sempat mengalami kerugian akibat menjual premium dan solar. Namun, Pemerintah akhirnya menyesuaikan harga BBM sehingga Pertamina mulai meraup untung.
"Tahun lalu harga MOPS naik, Pertamina teriak dari April-September, sampai bilang rugi Rp 15 triliun karena pemerintah tidak kunjung menaikkan harga BBM. Namun kita tertolong dari Oktober-Desember," tuturnya.
Sementara untuk BBM nonsubsidi yang ditargetkan bisa mencapai margin lima hingga 10 persen, Pertamina memperoleh keuntungan yang meleset dari targetnya karena penjualan BBM nonsubsidi di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) tetap dipatok oleh pemerintah sehingga margin yang diterima oleh Pertamina tergerus. "Yang non-PSO, Pertamina harusnya untung 5-10 persen tapi karena Jamali rugi, jadi tergerus marginnya tinggal 2,8 persen," katanya.