REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh wartawan Republika/Fuji Pratiwi
Pergantian rezim kepemimpinan telah berusia lebih dari setahun. Namun, stake holder keuangan syariah masih mengingat betul dukungan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tepat pada 17 November 2013, SBY menyampaikan dukungan lisan untuk keuangan syariah melalui Gerakan Ekonomi Syariah (Gres!).
Pada 14 Juni 2015, tiba giliran Presiden Joko Widodo yang mengutarakan support. Berbicara pada forum Aku Cinta Keuangan Syariah (ACKS), Presiden menilai keuangan syariah memiliki posisi strategis. Sebagaimana pendahulunya, SBY, Presiden juga menilai Indonesia berpeluang menjadi pusat keuangan syariah dunia.
Terakhir, awal 2016, Presiden Jokowi bahkan memproklamirkan berdirinya Komite Nasional Keuangan Syariah. Ia sendiri yang akan menakhodai KNKS, yang akan fokus langsung mengembangkan ekonomi syariah beserta wakaf, zakat, dan inovasi produk.
Dukungan pembesar negeri ini selalu diperoleh. Akan tetapi, mengapa negeri ini tak jua berada di pusaran inti keuangan syariah dunia?
Presiden menyebut salah satu musababnya adalah pangsa aset yang masih kecil. Tercatat, volume usaha industri keuangan syariah hingga Maret 2015 baru mencapai Rp 268 triliun atau 4,7 persen. "Ruang tumbuh keuangan syariah terbuka luas. Apalagi masih masyarakat banyak yang tidak punya akses pada jasa keuangan formal," ujar Presiden.
Setelah itu, ditetapkanlah ambang psikologis keuangan syariah di batas minimal lima persen. Angka yang belum juga tercapai hingga kini. Malah, ambang tersebut disinyalir menciptakan momok five percent trap.