Selasa 26 Jan 2016 09:37 WIB

Pembebasan SVLK Mebel Sebabkan Biaya Tinggi

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nidia Zuraya
Produk mebel menjadi andalan ekspor Indonesia.
Produk mebel menjadi andalan ekspor Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembebasan produk mebel dari kewajiban penggunaan dokumen v-legal untuk tujuan ekspor mulai berdampak negatif. Uni Eropa, salah satu konsumen utama, kembali mengharuskan produk kayu Indonesia yang diimpor untuk melewati prosedur uji tuntas (due dilligence).

"Dampaknya ada biaya besar yang mesti dikeluarkan untuk produk mebel yang masuk ke Uni Eropa.  Besarnya mencapai 2 ribu dolar AS per shipment," ungkap Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Agus Justianto di Jakarta, Senin (25/1).

Dokumen V-Legal merupakan bukti legalitas produk kayu dalam proses ekspor yang dikeluarkan berbasis Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem tersebut dikembangkan pemerintah dengan melibatkan multi pihak guna perbaikan tata kelola hutan Indonesia demi transparansi dan akuntabilitasnya.

Untuk menjamin tidak mengalami kebocoran berupa bercampurnya kayu ilegal, maka SVLK dirancang untuk diimplementasikan dari hulu hingga hilir secara menyeluruh. Namun,  Menteri Perdagangan Thomas Lembong merilis Peraturan Menteri Perdagangan No 89 tahun 2015 yang membebaskan produk mebel dari kewajiban penggunaan V-Legal pada Oktober 2015.

"Pembebasan mebel dari kewajiban V-Legal juga membuat masa depan FLEGT-VPA Indonesia-Uni Eropa menjadi tidak jelas," lanjutnya. Awalnya, perjanjian tersebut diproyeksikan bakal diimplementasikan penuh pada 1 Januari 2016.

Hal tersebut membuat dokumen V-Legal akan diakui sebagai lisensi FLEGT sehngga produk kayu Indonesia mendapat fasilitas jalur hijau ke Eropa. Namun Uni Eropa menyatakan implementasi itu baru bisa dilakukan jika SVLK berlaku menyeluruh, termasuk bagi produk mebel.

Komite Bidang Bahan Baku Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia Yuki Wardhana menyebut, kewajiban due diligence tidak cuma dikenakan kepada produk mebel tapi juga untuk produk kertas.

"Tren permintaan due dilligence meningkat begitu terbit Permendag No 89/2015, ulu permintaan itu memang ada, tapi jika kami jelaskan sudah memiliki V-Legal, konsumen percaya," katanya. Ia pun berharap ada jalan keluar sehingga kesepakatan Indonesia-UE bisa segera diimplementasikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement