Senin 18 Jan 2016 14:06 WIB

Mendag: Neraca Perdagangan Belum Membaik

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyampaikan kinerja ekspor impor di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (18/1).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyampaikan kinerja ekspor impor di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (18/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong mengatakan, neraca perdagangan 2015 surplus mencapai 7,5 miliar dolar AS dan jauh lebih baik dibandingkan neraca perdagangan 2014 yang mengalami defisit sebesar 2,2 miliar dolar AS. 

Menurutnya, membaiknya neraca perdagangan selama 2015 ditopang oleh menguatnya neraca perdagangan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Sementara, lanjut Thomas, neraca perdagangan dengan Hong Kong, Belanda, dan Spanyol menekan neraca perdagangan 2015. Sedangkan defisit neraca perdagangan dengan Cina masih tertahan dan belum mengalami perbaikan. 

"Surplus ini gak sepenuhnya positif, karena seperti diketahui surplus disebabkan oleh impor yang turun dan bukan pertumbuhan ekspor," ujar Thomas di Jakarta, Senin (18/1).

Thomas menjelaskan, secara kumulatif nilai ekspor selama 2015 mencapai 150,3 miliar dolar AS atau turun 14,6 persen (yoy). Penurunan ekspor tersebut dipicu oleh masih berlanjutnya penurunan harga komoditas di pasar internasional sebesar 16,9 persen, dan turunnya harga minyak yang mencapaai 46,4 persen.   

Selain itu, pelemahan ekspor pada 2015 juga disebabkan oleh perlambaan perekonomian global. Kementerian Perdagangan mencatat ekspor nonmigas ke negara mitra dagang yang turun signifikan antara lain Hong Kong sebesar 26 persen, Uni Emirat Arab 24 persen, Cina 19,4 persen, dan Australia 19 persen. Meski ekspor mengalami penurunan, beberapa komoditas ekspor nonmigas Indonesia masih mengalami peningkatan, antara lain biji kerak dan abu logam, kopi, teh, dan rempah-rempah, serta perhiasan. 

"Beberapa komoditas tersebut volume ekspornya memang naik, tapi harganya tidak bagus karena dipicu oleh kelesuan ekonomi global dan transformasi perekonomian Cina," kata Thomas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement