Ahad 03 Jan 2016 18:36 WIB

Pemerintah Diminta Belajar dari Krisis Ekonomi

Rep: Hasanul Rizqa / Red: Ilham
Krisis Ekonomi (ilustrasi)
Foto: ©hangthebankers
Krisis Ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah merilis penjabaran mengenai realisasi APBN 2015. Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, secara umum apa yang sudah dicapai pada tahun lalu cukup bagus, mengingat situasi ekonomi nasional waktu itu sedang melambat.

Misalnya, dalam hal penerimaan fiskal, pemerintah berhasil menarik pajak sebesar Rp 1.055 triliun (netto) dan bea-cukai Rp 181 triliun (netto). Sehingga, realisasi penerimaan perpajakan (termasuk bea cukai) adalah 83 persen dan pajak 81,5 persen.

Karenanya, dia menilai, kinerja Kementerian Keuangan dan jajarannya patut diapresiasi. "Karena di tengah situasi perekonomian yang kurang baik dan keterbatasan kapasitas, masih dapat mencapai penerimaan yang cukup tinggi dan sekaligus menjaga defisit APBN 2015," kata Yustinus Prastowo dalam keterangan tertulisnnya, Ahad (3/1).

Meskipun demikian, pemerintah diharapkan tak lantas berpuas diri sehingga bisa mengidentifikasi kelemahan dan kekurangannya selama tahun lalu. Tahun 2016 diharapkan menjadi tahun perbaikan di bidang perpajakan.

"Situasi krisis harus dengan cerdas dimanfaatkan sebagai momentum perbaikan arsitektur fiskal yang menyeluruh, guna mendukung kesinambungan fiskal," kata dia.

Berkaca dari pencapaian 2015, Yustinus meminta pemerintah untuk segera merevisi target penerimaan perpajakan untuk tahun ini. Yakni, dari Rp 1.368 triliun menjadi Rp 1.260 triliun. Hal itu, menurut dia, sudah termasuk potensi tambahan dari pengampunan pajak (tax amnesty).

"Dan target penerimaan cukai diturunkan dari Rp 145 triliun menjadi Rp 135 triliun, serta ekstenfisikasi objek cukai. Hal ini penting untuk memberi ruang pemulihan ekonomi," jelas dia.

Tak hanya itu, Yustinus menyarankan Presiden Joko Widodo segera membentuk Unit Khusus Kepresidenan yang bertugas mengawal proses reformasi perpajakan. Agenda utamanya, lanjut dia, adalah melakukan terobosan (breakthrough), buka sumbat (debottlenecking), dan harmonisasi yang lintas sektor-institusi.

Menurut dia, menyerahkan reformasi perpajakan hanya kepada Menteri Keuangan, Dirjen Pajak, dan Dirjen Bea Cukai akan menambah beban berat. Dia memandang, Unit Khusus juga bertugas mempercepat pemberlakuan Single Identification Number (SIN) dan keterbukaan data perbankan sesuai standar OECD.

Sebagai penyeimbang keinginan pemerintah untuk melakukan tax amnesty, diharapkan ada fokus juga pada penggalian potensi kelompok berpenghasilan tinggi yang selama ini tingkat kepatuhan pajaknya masih rendah.

Yustinus juga menilai, revisi UU Perpajakan dan UU Pajak Penghasilan (PPh) juga sebaiknya segera terwujud dalam tahun ini. Penekanannya antara lain pada upaya penghormatan hak wajib pajak, prioritas pada penerimaan negara. Terkait revisi UU PPh, menurut dia, fokus lebih pada progresivitas tarif, perluasan objek pajak, kejelasan biaya fiskal, serta penguatan aturan anti-penghindaran pajak.

Dia menambahkan, Ditjen Pajak juga perlu menjadi institusi semiotonom di bawah Presiden, meski tetap berkoordinasi dengan Kemenkeu. Pemerintah pun diminta menyempurnakan konsep pengampunan pajak, dengan memperjelas skema repatriasi dan manajemen data yang baik.

"Pemerintah juga harus mengantisipasi dampak pengampunan pajak di tahun 2017, berupa penurunan potensi pajak secara signifikan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement