Jumat 01 Jan 2016 12:52 WIB

Pengusaha Butuh Usaha Lebih Hadapi MEA di Awal 2016

Rep: c34/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah mahasiswa membentuk formasi tulisan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) di Lapangan Politeknik Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya, Jawa Timur, Jumat (18/12).
Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Sejumlah mahasiswa membentuk formasi tulisan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) di Lapangan Politeknik Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya, Jawa Timur, Jumat (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Memasuki tahun 2016, pengusaha dan para pedagang menengah ke bawah disebutkan perlu lebih bekerja keras. Sebab, pergantian tahun akan diikuti dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (APKOMINDO) Nursamsi berpendapat, kesiapan Indonesia menghadapi MEA belum memadai. Imbasnya, semester pertama tahun 2016 akan memberatkan bagi tenaga kerja dan pengusaha level menengah ke bawah.

"Mau tidak mau harus extra effort di awal tahun 2016, karena iklim usaha pada saat yang sulit ini akan bertambah sulit ketika pemberlakuan pasar bebas ASEAN sudah dimulai," kata Nursamsi, Jumat (1/1).

Wujud upaya lebih yang telah tampak, kata Nursamsi, ialah bertambahnya pengusaha yang melebarkan penjualan melalui toko online dan gerai modern. Ia memprediksi, setelah MEA mulai dilaksanakan akan bermunculan banyak pengusaha start-up.

Pengusaha komputer di Kota Bogor itu juga menyebutkan, MEA akan membuat kompetisi antara para pencari kerja semakin berat. Belum lagi ancaman PHK bagi para tenaga kerja yang kurang terampil. Persaingan diperketat dengan tenaga kerja luar negeri yang masuk secara bebas ke Indonesia. Hal itu juga dikhawatirkan menimbulkan degradasi para pekerja lokal.

"Bukan saja dari ketenagakerjaan, tetapi sektor riil juga akan terkena imbasnya," ujar Asesor LSP Komputer itu.

Ia mencermati, faktor lain seperti melemahnya nilai tukar rupiah juga menjadi penentu. Dicontohkan Nursamsi, fenomena pada September 2015 ketika nilai tukar Rupiah terhadap dolar terus melemah hingga Rp 14.000 sangat menyulitkan para importir.

Kala itu, pengusaha yang mengimpor barang IT dan elektronik tak bisa memberi kepastian harga jual ke konsumen. Apalagi, pemerintah sudah memberlakukan aturan pembayaran barang-barang di wilayah Indonesia dengan mata uang rupiah.

"Menyiasati hal itu, banyak yang melakukan efisiensi, merumahkan karyawan, hingga PHK agar usahanya tidak bangkrut," kata ia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement