Rabu 16 Dec 2015 22:26 WIB

Pembentukan Agregator Gas tak Mendesak

(dari kiri) Direktur Pengkajian Kebijakan dan Advokasi KPPU Taufik Ahmad, Pakar Energi UI Widodo Wahyu Purwanto berbicara dalam Seminar Nasional Tata Kelola Gas Nasional di Kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/12).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
(dari kiri) Direktur Pengkajian Kebijakan dan Advokasi KPPU Taufik Ahmad, Pakar Energi UI Widodo Wahyu Purwanto berbicara dalam Seminar Nasional Tata Kelola Gas Nasional di Kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Konsep agregator gas yang saat ini sedang digodok dinilai tidak mendesak dilakukan. Hal yang justru harus menjadi prioritas adalah monopoli alamiah seperti diamanahkan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, monopoli bisa dilakukan oleh BUMN sebagai kepanjangan negara. Saat ini, terdapat dua BUMN yang bergerak di sektor gas, yakni Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Marwan berpendapat, pemerintah harus mengatur dan menjadikan kedua BUMN ini bersinergi.

“Misalnya, pemerintah menyerahkan sahamnya yang berada di PGN kepada Pertamina, sehingga Pertamina menjadi induk. Kemudian, Pertamina sebagai induk menggabungkan PGN dan Pertagas,” kata Marwan pada acara Seminar Nasional bertajuk “Tata Kelola Gas Nasional” di Jakarta, Selasa (15/12). 

Mengenai bentuk sinergi, Marwan juga menyetujui konsep open access. Dengan demikian, antara PGN dan Pertagas alias sesama anak perusahaan Pertamina bisa saling memanfaatkan pipa yang sudah ada. “Sinergikan saja keduanya karena keduanya berada di bawah kendali pemerintah, sehingga seharusnya lebih mudah,” katanya. Marwan menambahkan, jangan sampai ada penumpang gelap yang memanfaatkan open access, yakni para trader yang hanya bermodalkan kertas dan sama sekali tidak memiliki infrastruktur.

Direktur Pengkajian, Kebijakan, dan Advokasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ahmad mengatakan, open access memang merupakan bentuk sinergi paling ideal antara Pertagas dan PGN. Selain meningkatkan efisiensi, lanjutnya, open access juga akan menstimulasi percepatan jaringan. “Open access tidak mematikan semangat untuk membangun jaringan. Bahkan, open access akan menstimulasi untuk pembangunan jaringan di tempat lain karena adanya kepastian sambungan,” katanya.

Taufik menambahkan, industri gas merupakan network industry sebagaimana kereta api, air minum, telekomunikasi, dan lain-lain. Kunci dari network industry adalah open access atau interkoneksi. Melalui open access, misalnya, jaringan air minum dari Jawa Timur bisa bersambung ke Jawa Barat. Sedangkan dalam telekomunikasi, antar operator bisa memanfaatkan jaringan milik operator lain, sehingga komunikasi lancar dilakukan.

“Jadi, open access merupakan ruh industri jaringan seperti gas. Dengan open access akan memudahkan membangun jaringan karena jaringan yang berada di satu tempat akan mendapatkan kepastian untuk tersambung dengan jaringan di tempat lain,” kata Taufik.

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan, gas merupakan energi masa depan bangsa. Untuk itu, dia menyatakan dukungan untuk membangun infrastruktur gas. Diharapkan, ke depan pembangunan infrastratuktur gas bisa dilakukan dengan lebih dahsyat lagi. Hanya saja, lanjutnya, setelah infrastuktur gas jadi, dia kurang sependapat jika infrastuktur yang sudah dibiayai dengan APBN tersebut diserahkan kepada PGN. Masalahnya, 43 persen saham PGN dimiliki oleh asing.

“Ini sama sekali tidak waras. Kecuali PGN menjadi sepenuhnya milik negara, ini kita dukung penuh,” ujar Kurtubi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement