Sabtu 12 Dec 2015 23:35 WIB

Indonesia Dinilai Lemah Mengelola Sumber Daya Alam

Sebuah truk pengangkut biji tambang beraktivitas di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Foto: Antara/Wahyu Putro
Sebuah truk pengangkut biji tambang beraktivitas di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia terus menggelinding dan menjadi sorotan publik. Sejumlah pengamat energi dan praktisi angkat bicara soal kasus yang menyeret Ketua DPR, Setya Novanto dan Menteri ESDM Sudirman Said.

Pendiri sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, Puntjo Sutowo mengatakan, selama ini sumber daya alam (SDA) yang dikelola negara banyak ditempatkan di posisi yang salah. "Industri-industri sumber daya alam dipandang oleh pemerintah sebagai industri penghasil pajak bukan industri yang membangun negara, itu persoalannya," kata Puntjo.

Pakar ekonomi, Prof Dawam Raharjo berkata, pengelolaan SDA yang salah itu karena pemerintah dalam pengelolaannya tidak berdasarkan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pemerintah, kata dia, memang memperoleh manfaat dari pengelolaam SDA pertambangan, khususnya migas.

"Penerimaan migas misalnya, menjadi komponen penerimaan negara bukan pajak (BNPB) yang pernah mencapai 80 persen. Dengan demikian PNPB dipakai untuk dijadikan dana yang habis terpakai," kata dia dalam acara diskusi yang digelar Aliansi Kebangsaan bertema 'Kasus Freeport dan Penataan Ulang Pengelolaan Sumber Daya Alam' di Sultan Residence 2, Senayan, Jakarta Selatan, Sabtu (12/12) siang.

Padahal, kata Dawam menjelaskan, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan agar pengelolaan SDA dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya menurut Dawam, pengelolaan SDA itu harus bisa memakmurkan rakyat.

Pertama, memberikan manfaat yang bertambah atau berkembang (multipier effect). Kedua, menjadi aset tetap yang memberi manfaat yang berkelanjutan.

"Artinya harus menjadi dana investasi yang berdampak ganda dan menjadi dana abadi yang memberikan passive income kepada negara. Misalnya dalam bentuk saham pada perusahaan negara, tanah wakaf atau property. Ini mana, selama 70 tahun mengelola SDA jadi apa? Semua larinya ke WC. Apakah pengelolaan SDA selama ini berkembang? Tidak," ucapnya kepada wartawan saat sesi diskusi.

Menurut Dawan, Indonesia merupakan negara yang paling enggan berkembang dalam pengelolaan SDA-nya. Sebab, hingga kini Indonesia belum juga membangun refinery dan mau menghasilkan energi alternatif.

Karena itu, Dawam mengusulkan agar pengelolaan sda dilakukan penataan ulang yang berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 agar, hasil pengelolaannya mampu menciptakan kesejahteraan sosial. Dawam juga menegaskan, seharusnya Indonesia tidak usah takut kalau Freeport pergi. Sebab ia yakin rakyat Indonesia pasti bisa mengelolanya.

"Biar saja Freeport pergi. Kita bisa kok menjalankan tambang emas. Orang-orang tradisional bisa menjalankan tambang emas di Cikotok. Di sepanjang Gunung Kidul itu juga orang-orang tradisional. Jadi ambil alih saja Freeport," kata dia mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement