Senin 30 Nov 2015 23:58 WIB

Puteh: Revolusi Mental Belum Sentuh Revolusi Pertanian

Seorang petani menyiram lahan pertaniannya. (ilustrasi)
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Seorang petani menyiram lahan pertaniannya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara dinilai belum sepenuhnya hadir dalam upaya mendukung masyarakat petani. Walaupun 70 tahun Indonesia merdeka ternyata masyarakat tani Indonesia hampir terlantar.

Petani miskin itu tidak kurang 60 persen dari jumlah petani dan berada di desa-desa. Untuk itu perlu langkah progresif komponen bangsa melakukan revolusi pertanian. Serikat Tani Islam Indonesia (STII) sebagai ormas Islam berinisatif menjadi gugus terdepan penggerak perjuangan petani berdulat di negerinya sendiri.

Demikian benang merah dari hasil Mukernas STII dan Workshop transformasi teknologi pertanian dengan tema 'Revolusi Pertanian: Tingkatkan Kesejahteraan Petani Menuju Kedaulatan Pangan dan Pembangunan Bangsa' di Banten yang dihadiri Wakil Ketua DPD RI Dr Farouk Muhammad, Ketua Umum PB STII Dr Abdulah Puteh, Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN RI Doddy Imron Cholid, Dirkeu LPDB Fitri Rinaldi, penemu Pupuk Mikroba Google Prof. Ir Ali Zum Mashar serta Ketua PB STII Dr Iwan Riswandi.

Ketum PB STII Abdullah Puteh mengatakan, tidak kurang dari 50 persen penduduk Indonesia adalah petani dan lahan yang ada 70 persen adalah pertanian."Berarti setengah penduduk Indonesia ini adalah petani dan kehidupan sektor pertanian ini sangat mengikuti kehidupan manusia. Tanpa pertanian kita tidak bisa hidup...," kata Puteh.

Bekas Gubernur Aceh ini menegaskan  petani Indonesia selalu terlantar karena belum adanya keberpihakan pemerintah terhadap petani. Ia menyontohkan, di Amerika Serikat anggaran pembangunan pertanian sebesar 18 persen. Dengan kata lain hampir sama dengan anggaran pendidikan di Indonesia yang mencapai 20 persen.

"Negara adidaya ini masih menghormati sektor pertaniannya. Tapi kenapa di negara agraris ini, pemerintah tidak berpihak kepada karunia Tuhan yang mampu mensejahterakan rakyat sampai kapan pun,” ujarnya.

Menurutnya, APBN 2016 dari sektor pertanian teralokasi Rp 38 triliun. Meski terlihat besar, tapi kenyataannya jika dibandingkan dengan total APBN sebesar Rp 2000 triliun maka tidak sampai dua persen anggaran untuk pertanian.

“Ini sangat kecil. Jelas menandakan pemerintah belum berpihak kepada petani. Meski saya menghormati pemerintahan Jokowi-JK tapi masih kurang sekali keberpihakan kepada masyarakat petaninya.” ucap dia.

Kondisi masyarakat tani yang miskin itu ternyata hanya mempunyai tanah tidak lebih dari seperempat hektar, bukan setengah hektar. Belum lagi menurut dia masalah lain seperti irigasi kurang memadai, bibit dan pupuk.

Celakanya sistem tata niaga juga merugikan petani karena pemerintah tidak secara benar menata tata niaga hasil pertanian. Saat hasil pertanian surplus malah harga jualnya rendah.     

Ini membuktikan bahwa perencanaan pertanian masih top-down bukan bottom-up. Oleh karena itu, STII harus melakukan revolusi pertanian. Harus mendesak pemerintah nasional, provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan revolusi anggaran dengan merubah anggaran yang berpihak sektor pertanian. Perencanaan pertanian sudah tidak waktunya sentralistis tetapi sudah harus dibuat di kabupaten/ kota supaya program selalu laku terpadu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement