REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan suku bunga (BI rate) sebesar 7,5 persen selama sembilan bulan berturut-turut sejak Februari 2015. Namun, bank sentral memotong persyaratan cadangan utama bagi bank atau giro wajib minimum (GWM) primer menjadi 7,50 persen dari delapan persen yang efektif berlaku 1 Desember 2015. Kebijakan tersebut dinilai untuk mendorong pertumbuhan kredit dan mendukung kegiatan ekonomi.
Ekonom United Overseas Bank (UOB) Ho Woei Chen, mengatakan data dari Indonesia menunjukkan ekspor dan impor Oktober terkontraksi lebih tajam dari yang diperkirakan menjadi masing-masing minus 20,98 persen (yoy) dan minus 27,81 persen (yoy). Sementara surplus perdagangan di atas 1,019 miliar dolar AS. Dibandingkan posisi ekspor September minus 17,59 persen (yoy), impor September minus 25,65 persen (yoy), dan surplus neraca perdagangan September sebesar 1,03 miliar dolar AS.
Kembalinya surplus perdagangan sejak Desember 2014 dikarenakan lebih disebabkan permintaan impor lemah, bukan perbaikan ekspor. Dengan ekspor dan impor yang terkontraksi, diperkirakan mengurangi besarnya kontraksi perdagangan di awal 2016.
"Namun, kelemahan dalam komoditas dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di Cina masih akan membatasi setiap pemulihan pertumbuhan jangka pendek di Indonesia," jelasnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/11).
Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2015 sebesar 4,73 persen (yoy), UOB mempertahankan proyeksi pertumbuhan 2015 setahun penuh perekonomian Indonesia di level 4,8 persen dan 5,4 persen pada 2016. Dorongan untuk percepatan pembangunan infrastruktur bisa mendorong pertumbuhan Indonesia menjadi 5,4 persen pada tahun 2016.
Inflasi telah termoderasi menjadi 6,25 persen (yoy) di bulan Oktober dan diharapkan berlanjut pada bulan November dan Desember karena efek dasar yang tinggi. UOB memproyeksikan tingkat inflasi bulanan jatuh menjadi sekitar 3,5 persen (yoy) di Desember dari puncak 7,3 persen di awal tahun ini.
"Pemotongan GWM hari ini menunjukkan peningkatan tekanan pada BI untuk mendorong pertumbuhan sementara waspada terhadap risiko. Namun, kami mempertahankan pandangan kami bahwa BI akan memilih untuk lebih berhati-hati dan ini berarti tersisa ditahan di 7,50 persen pada Desember juga. Sebuah perbedaan kebijakan dengan AS bisa meningkatkan downside untuk nilai tukar rupiah sebagai kenaikan risiko arus modal keluar," ungkapnya. (Baca juga: Pertahankan BI Rate, Bank Sentral Pilih Turunkan GWM)
Selain itu, UOB masih melihat risiko nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di bulan-bulan mendatang sebagai dampak antisipasi pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga AS. UOB memproyeksikan kenaikan pertama suku bunga Fed di rapat FOMC pada 15-16 Desember 2015.