Kamis 05 Nov 2015 18:23 WIB

Saat Jokowi Khawatirkan Setoran Pajak

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Jokowi
Foto: ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
Presiden Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memanggil Dirjen Pajak Sigit Priadi di Istana Negara, Rabu (4/11) kemarin. Mantan gubernur DKI Jakarta itu menyoroti setoran pajak hingga akhir Oktober lalu yang masih jauh dari target, yakni baru mencapai 60 persen.

Usai menemui Presiden, Sigit lantas menyebutkan, hingga akhir tahun ini setoran pajak akan terpenuhi 85 persen dari target yang sebesar hampir Rp 1.300 triliun. Angka 85 persen itu jauh di bawah proyeksi awal yang sebesar 92 persen.

Pengamat Perpajakan dari Universitas Pelita Harapan Roni Bako menilai, persoalan ini tidak lepas dari lantaran Undang-Undang pendapatan negara dan belanja negara masih digabung. Menurutnya, hal ini kebijakan yang salah dan harus tidak pernah diubah. "Seharusnya langkah ke depan UU pendapatan negara dan belanja negara harus dipisah," katanya.

Terlebih lagi, ujar Roni, pola keuangan negara dimana pengeluaran dan penerimaan berimbang dengan pembiayaan sehingga ketika belanja negara dikeluarkan ketika saat ada uangnya saja. "Disitulah ketakutan Presiden Jokowi bahwa November- Desember kan banyak pengeluaran untuk bangun jalan dan lain sebagainya, takutnya nanti sudah banyak pengeluaran ternyata uangnya tidak ada," tuturnya.

Untuk itu, Roni mengajak belajar dan berkaca pada orde lama dan baru yang memisahkan UU pendapatan dan belanja negara, sehingga jika mau membangun sesuatu sudah siap dan tidak menunggu seperti saat ini. "Kalau polanya nggak diubah setiap tahun akan seperti ini terus. Yang diamankan belanja pegawai negara doang, bayar gaji pegawai itu sudah dipikirkan, tapi yang belanja modal dan barang itu baru ada Juli-Agustus, itu salah," tambah Roni.

Ia menilai, sudah seharusnya pemerintah berani mengubah pola keuangan negara dengan memisahkan UU pendapatan dan belanja negara.

Kondisi yang terjadi dalam perpajakan saat ini dinilai pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia (UI) Darussalam dapat digunakan sebagai penbelajaran dan penyadaran bahwa memang pajak lah yang menopang pembangunan di Indonesia. "Kalau kita sepakat pajak sebagai sumber pembangunan negara ini, maka mau tak mau pemerintah harus fokus di pajak," kata dia.

Sekitar 88 persen penerimaan pajak, menyumbang penerimaan negara. Dan, ke depannya, menurut Darussalam, harus ada perbaikan di sektor pajak ini. Pertama, perbaikan di sektor administrasi perpajakan, bagaimana ke depan menjadikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang independen.

"Kedua, bagaimana mengatur regulasi-regulasi perpajakan sehingga regulasi itu menimbulkan kepastian bagi wajib pajak," sambung dia.

Ketiga, bagaimana DJP diberi dukungan data dalam rangka mengawasi kewajiban perpajakan wajib pajak misalnya bagaimana akses perbankan untuk perpajakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement