Rabu 04 Nov 2015 23:48 WIB

Pemerintah Diminta Kendalikan Rokok Dengan Cukai

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja memproduksi rokok kretek.
Foto: Antara/Arief Priyono
Pekerja memproduksi rokok kretek.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Karena industri rokok tak mungkin diperlambat mendadak, pemerintah bisa menggunakan cukai sebagai alat kendali konsumsi rokok. Di sisi lain, pemerintah juga harus menuntut komitmen produsen rokok untuk mengurangi produksi.

Direktur Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (CHEPS) UI Hasbullah Thabrany mengatakan, pengendalian rokok bisa dilakukan, salah satu yang efektif melalui cukai.

Dari simulasi yang dilakukan, jika rokok naik 20 persen jadi Rp 14.400 per bungkus (12 batang) dari harga saat ini Rp 12 ribu, pendapatan cukai menjadi Rp 216 triliun dari hanya Rp 193 triliun. ''Kalau bisa dilakukan, banyak yang bisa dilakukan untuk layanan dan fasilitas kesehatan,'' kata Hasbullah dalam diskusi ekonomi tembakau, Rabu (4/11).

Kalau perlahan harga rokok terus dinaikkan 20 persen, negara bisa mengumpulkan cukai hingga Rp 600 triliun. Mengembalikan saja 40-50 persen ke kesehatan, Hasbullah menilai hasilnya akan luar biasa. Ini bisa juga digunakan untuk melatih buruh rokok dan petani tembakau ke keahlian lain.

Usulan revisi undang-undang cukai juga dimajukan agar lebih spesifik. Salah satu poinnya adalah meminta 10 persen cukai dikembalikan ke petani dan pekerja industri rokok.

''Kalau tidak, ini hanya bom waktu sampai saatnya biaya subsisdi kesehatan akibat rokok meledak. Siapa yang akan tanggung?'' ungkap Hasbullah.

Menurutnya, banyak yang salah mengerti soal tujuan cukai sehingga kenaikan cukai selalu diprotes yang berkepentingan. Tujuan cukai adalah mengendalikan. Sementara pengumpulan dana negara dari pajak.

Kalau konsumsi rokok menurun, tandanya tujuan cukai tercapai. Indonesia belum mampu mengendalikan dan masih jadi salah satu konsumen rokok tertinggi.

Menurutnya, tidak mungkin juga menghabiskan industri rokok. Butuh waktu 30 tahun untuk menurunkankan konsumsi rokok secara signifikan.

Karena itu butuh jalan tengah. Industri tetap jalan dengan komitmen mengurangi produksinya. Industri tak perlu khawatir kehilangan pangsa karena mereka yang kecanduan akan tetap butuh rokok.

Hanya saja mereka harus bayar cukai lebih tinggi. Cukai dikembalikan untuk fasilitas kesehatan. Apalagi, perokok di kalangan pekerja informal jumlahnya lebih banyak dari pekerja formal.

Selain itu, harus ada penegakkan hukum yang tegas. Meski, ini butuh usaha keras mengingat secara budaya, Indonesia bukan termasuk yang taat hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement