Sabtu 31 Oct 2015 22:57 WIB

DPR akan Panggil Pemerintah Bahas PP Pengupahan

Red: Nur Aini
Buruh melaksanakan shalat Maghrib berjamaah saat aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/10).  (Republika/ Wihdan)
Buruh melaksanakan shalat Maghrib berjamaah saat aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/10). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menyatakan pihaknya akan mengevaluasi pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan untuk melihat apakah peraturan tersebut sudah cukup berpihak pada kesejahteraan buruh.

"Domain Komisi IX adalah kesejahteraan buruh, bukan industri. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri juga berdampak pada perekonomian," kata Dede Yusuf di Jakarta, Sabtu (31/10).

Politisi Partai Demokrat itu menilai lahirnya PP Pengupahan terkesan tidak disosialisasikan karena tidak melibatkan elemen buruh dan Komisi IX dalam penyusunannya.

Dede juga mengaku pihaknya belum bertemu dengan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri untuk membicarakan PP Pengupahan. Komisi IX telah merencanakan untuk mengundang Menteri Ketenagakerjaan terkait peraturan tersebut.

"Kami ingin mengundang Menaker, tetapi kemarin DPR masih membahas Rancangan APBN 2016. Nanti setelah reses, kami akan mengundang Menaker untuk mendapat penjelasan," tuturnya.

Terkait PP Pengupahan, Dede melihat ada beberapa poin yang cukup positif dan negatif. Namun, yang paling krusial dan dia nilai belum tepat adalah formula kenaikan upah yang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. "Inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional tidak bisa disamakan dengan daerah. Karena itu, menurut saya formula kenaikan upah dalam PP Pengupahan tidak bisa diberlakukan secara nasional. Perlu mempertimbangkan aspek kewilayahan," katanya.

Dede mengatakan tidak bisa dipungkiri masih ada daerah-daerah di Indonesia yang tertinggal dibanding daerah lain. Bila pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut rendah, maka bisa dipastikan kenaikan upah di daerah itu juga akan rendah, bahkan bisa di bawah 10 persen.

"Hal itu hanya akan menguntungkan pengusaha sehingga mereka akan mencari daerah-daerah yang upahnya rendah," ujarnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement